Obama Nyanyikan Amazing Grace di Upacara Pemakaman Pendeta Charleston
CHARLESTON, SATUHARAPAN.COM - Dengan penuh semangat Presiden AS Barack Obama memimpin ribuan pelayat menyanyikan "Amazing Grace" pada hari Jumat (26/6) di pemakaman pendeta gereja kulit hitam di Charleston yang tewas tertembak oleh seorang remaja dengan motif rasial seraya Obama mendesak AS untuk menghilangkan simbol-simbol penindasan dan rasisme, termasuk bendera Konfederasi yang telah menjadi perdebatan luas di negara Paman Sam itu akhir-akhir ini.
Dalam pidato yang mungkin dianggap salah satu yang paling berkesan di masa kepresidenannya, Obama memberi penghormatan yang sangat emosional kepada sembilan orang yang ditembak mati di gereja Charleston pekan lalu dan memohon agar warga AS menggunakan tragedi itu sebagai cara untuk menjembatani kesenjangan rasial.
Penembakan itu telah memicu diskusi intens di ranah publik AS atas salah satu warisan dan simbol perbudakan yang telah menjadi bagian dari sejarah AS, setelah foto-foto seorang kulit putih yang dituduh sebagai pelaku penembakan muncul ke permukaan yang menunjukkan dia berpose dengan bendera Konfederasi, dan pada sebuah situs internet dimuat pula manifesto rasisnya.
Para politisi dan pelaku bisnis dengan cepat mencoba menjaga jarak dari isu bendera Konfederasi yang berakar pada era perang sipil di tengah seruan agar bendera Konfederasi tersebut diturunkan dari puncak South Carolina State House.
Obama menyebut bendera itu sebagai "pengingat penindasan sistemik dan penaklukan ras."
"Sudah terlalu lama kita buta terhadap rasa sakit yang diakibatkan bendera Konfederasi itu terhadap banyak warga negara kita," kata Obama dalam pidato nya untuk Pendeta Clementa Pinckney, 41, dari Emanuel African Methodist Episcopal Church (EMA) di Charleston.
Di akhir pidatonya, Obama tampil membawakan lagu himne abad ke-18, Amazing Grace, yang ditulis oleh seorang mantan pedagang budak setelah ia beralih dan menjadi penganut agama Kristen. Lagu ini sering dikaitkan dengan perjuangan warga Afro-Amerika di AS. Ini, menurut laporan. Reuters, merupakan adegan yang sangat mengharukan untuk seorang presiden kulit hitam pertama di AS yang sering enggan mempertunjukkan warisan rasialnya.
Untuk sesaat, dia sendirian di atas panggung melantunkan himne sebelum para pelayan rohani yang berpakaian ungu berdiri di sampingnya dengan tersenyum, bergabung dengannya bernyanyi. Kemudian organ gereja berkumandang diikuti oleh suara lebih dari 5.000 yang hadir turut pula bernyanyi.
Setelah himne, Obama menyebut satu per satu nama korban meninggal penembakan Charleston. Jemaat yang berkumpul itu bergumam "Ya," tiap kali salah satu nama disebut. Irama bicara Obama kali itu dipandang lebih sebagai khotbah daripada pidato.
Editor : Eben Ezer Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...