Obituari: Istri John Lie Sang Pelayan Pastoral Sejati
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Seumur hidupnya, Pdt Margaretha Dharma Angkuw, melakukan pelayanan pastoral di antara pekerja medis, terutama di Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta. Pada Sabtu (31/10) lalu, istri pahlawan nasional Laksamana Muda John Lie itu, meninggal dunia pada usia 90 tahun.
Sekretaris umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Pdt Gomar Gultom, menulis, “Ia adalah perempuan pertama lulusan STT Jakarta (1955) dan perempuan pertama yang duduk sebagai anggota BPH-DGI (sekarang MPH-PGI). Beliau juga salah seorang pendiri Asia Christian of Women Conference (ACWC), yang hingga kini merupakan satu-satunya organisasi perempuan di tingkat Asia yang hingga kini aktif dalam gerakan solidaritas untuk perempuan di Asia.”
Pdt Gultom mengaku, “jejak pelayanannya sangat kental dan berbicara banyak bagi saya. Seperti kata Pdt Marudut Manalu, salah seorang Pendeta Kerohanian di RS PGI Cikini kini, ‘Dia sosok yang disiplin, baik dalam waktu, pola makan maupun dalam menata kehidupan, jadi dia sosok yang tangguh. Kita banyak belajar dari beliau. Kiranya generasi muda bisa menirunya.’”
Menurut Peruati, pelayanan Pdt Dharma Angkuw diawali ketika ada ajakan Ciel Enklaar-Thomas, istri dari Dr Ido Enklaar, mantan guru besar di STT Jakarta. Ia diajak membantu dalam pelayanan rohani bagi para perawat di Rumah Sakit PGI Cikini. Saat itu, program pelayanan rohani kepada perawat berbahasa Belanda dilakukan oleh Enklaar dan dr. Hasselaar, pendeta jemaat GPIB Paulus. Sementara yang berbahasa Indonesia dipegang oleh Pdt. Dharma Angkuw. Sejak itulah, mantan Bendahara PGI ini, mulai menimba pengalaman terkait pelayanan pastoral.
Ketika Enklaar dan dr. Hasselaar tidak lagi melakukan pelayanan rohani, Rumah Sakit PGI Cikini meminta Pdt. Dharma Angkuw menjadi Pendeta di rumah sakit tersebut. Setelah berkonsultasi dengan Sinode GPIB dan sang suami Laksda Jhon Lie Tjeng Tjoan, yang saat itu menjabat sebagai Komandan daerah Maritim Djakarta (KDMD), dia pun menerima tawaran tersebut. Meski awalnya tidak menerima gaji, pelayanan tersebut dilakukannya dengan penuh tanggung jawab.
Lantaran dalam pendidikan teologi tidak ada mata pelajaran konseling pastoral untuk orang sakit, perempuan yang pernah aktif di Departemen Wanita PGI ini pun, harus mencari bahan sendiri, dan itu dilakukan ketika berkunjung ke luar negeri, seperti di Eropa. Amerika, Australia, dan Selandia Baru.
Kebaktian dan Penelaahan Alkitab
Pada awalnya, Pdt. Dharma Angkuw melihat pembinaan rohani kepada para perawat sangatlah penting karena terkait pelayanan mereka kepada pasien di bangsal. Oleh sebab itu, dia pun membuat kebaktian, Penelaahan Alkitab (PA), dan kelompok doa di asrama. Juga di kapel rumah sakit diadakan ibadah setiap pagi untuk semua karyawan sebelum mereka bekerja. Kebaktian ini dipimpin secara bergiliran.
Seiring berjalannya waktu, pelayanan rohani terasa makin padat. Supaya optimal, dia pun mencari seorang ibu asrama, yang dapat membina para perawat di bidang kerohanian. Akhirnya Ny Burger-Waworoenteo dipilih menjadi ibu asrama. Dengan demikian, pelayanan Pdt. Dharma-Angkuw sedikit demi sedikit mulai difokuskan kepada pelayanan rohani kepada pasien-pasien di bangsal.
Selain itu, pertumbuhan dan perkembangan Gereja di Jakarta, ternyata sedikit banyak berpengaruh terhadap kunjungan pendeta dan jemaat untuk melihat jemaatnya yang terbaring sakit. Hal ini dirasakan oleh Pdt. Dharma-Angkuw. Akibatnya, perlu penambahan tenaga pendeta untuk melakukan pelayanan rohani. Pihak Rumah Sakit PGI Cikini juga menyadari kekurangan tenaga pendeta pada waktu itu. Atas usul Pdt. Dharma-Angkuw, akhirnya, ditempatkan tiga pendeta. Satu pendeta untuk pembinaan, satu pendeta untuk asrama, dan satu pendeta untuk pelayanan kepada pasien dan pelayanan kapel rumah sakit.
Menurut pendeta perempuan pertama lulusan STT Jakarta ini, pelayanan pastoral bagi pasien di rumah sakit sangat diperlukan sekali. Sebab, pasien sekarang bukan saja menjadi sakit karena dalam tubuhnya ada sesuatu yang tidak berfungsi benar, melainkan sekarang ini banyak penyakit disebabkan oleh hal-hal lain di luar tubuhnya. Untuk itu, melalui pendekatan pastoral dapat membantu pasien secara psikologis, sehingga dia mau mengungkapkan apa yang terjadi dengan dirinya.
Beberapa waktu lalu, Pdt Dharma bercerita pengalamannya saat mendekati seorang pasien dari luar negeri yang ternyata tidak terlalu percaya dengan Tuhan. Si pasien itu menganggap pelayanan pastoral tidak berguna bagi dirinya. Namun karena kegigihan dan keuletan yang ditunjukkan oleh Pdt. Dharma, akhirnya si pasien tersebut mau berbagi cerita tentang apa yang dialaminya.
Pdt. Dharma berharap pelayanan pastoral di rumah sakit dapat terus berkembang tidak hanya di Rumah Sakit PGI Cikini, tetapi juga di rumah sakit lainnya, yang membawa label Kristen. Apalagi menurutnya, masih sedikit gereja yang peduli terhadap pelayanan pastoral di rumah sakit.
Dalam ingatannya, Pdt Gultom mengungkapkan, “Adalah pemandangan keseharian di RS Cikini, seorang ibu tua renta, berjalan terbungkuk-bungkuk dengan tongkatnya menyusuri lorong-lorong RS, menopang para pasien dan keluarganya dengan doa dan pendampingan darinya. Bukan hanya itu, beliau juga tak henti membimbing para perawat untuk setia melayani, yang beliau selalu sebutkan sebagai bagian dari pelayanan Ilahi, sesuai motto RS PGI Cikini: Sedare Dolorum Opus Divinum Est, yang berarti: meringankan penderitaan adalah karya Ilahi.”
Selamat jalan, Bu Dharma!
Cara Telepon ChatGPT
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perusahaan teknologi OpenAI mengumumkan cara untuk menelepon ChatGPT hing...