Obituari K.H. Arifin Assegaf: Merayakan Memori Kolektif dalam Dialog Lintas Iman
SATUHARAPAN.COM – Berita kematian Kyai Arifin Assegaf tak terlalu mengejutkan bagi saya. Dalam beberapa bulan terakhir, rekan-rekan penggiat aktvitas lintas iman nasional selalu meng-update kondisi kesehatan Kyai Arifin yang semakin memburuk.
Kyai Arifin adalah orangtua bagi kami di jejaring lintas iman Indonesia. Salah satu di antara beberapa orang tua yang tetap teguh dan konsisten menghadiri perjumpaan-perjumpaan jaringan lintas iman. Kehadirannya dalam pertemuan nasional jaringan lintas iman indonesia di Sentani-Jayapura, merupakan perjumpaan terakhir Kyai Arifin bersama kami. Saat itu ia telah semakin ringkih di atas kursi rodanya, namun binar matanya tetap bersemangat diantara kami yang muda-muda.
“Jack, ale (kamu) kenal Art Manuputty?” demikian pertanyaan yang selalu saya dengar ketika berjumpa dengan Kyai Arifin. Art Manuputty adalah teman akrab Ustadz Arifin di masa lalu. Tentu saya tak mengenalnya, dan telah berkali-kali saya katakan kepada Kyai Arifin. Manuputty adalah marga terbesar kedua di Maluku yang asalnya tersebar dari berbagai pulau. Tidak gampang pula menemukan teman Kyai Arifin dari sebuah masa silam yang sangat berjarak dengan saya. Meskipun demikian, setiap kali kami berjumpa ia selalu mengulang pertanyaan serupa, sambil bertutur tentang kisah-kisah persahabatan dengan teman-teman masa lalunya di Maluku.
Kyai Arifin memang kaya dengan cerita. Bentangan kehidupannya kental dengan beragam kisah dan perjumpaan dengan orang-orang dari bermacam agama, etnis, dan kelas sosial. Dalam setiap tuturannya, kata “teman” selalu berulang terdengar untuk menegaskan kedalaman makna dari setiap relasi yang ia bangun. Ia berkisah tentang teman-teman band yang ia bentuk, teman-teman seperjuangan di Permesta, teman-teman dalam pergerakan lintas iman, bahkan teman-teman penikmat kopi hitam kental serta dua jenis rokok gudang garam yang tak pernah lepas dari bibirnya.
K.H. Arifin Assegaf saat menghadiri pertemuan jaringan lintas-iman di Jayapura. (Foto: Jacky Manuputty)
Mendengarkan Kyai Arifin bercerita tak pernah membosankan, sekalipun kisah perjumpaan lintas agama dan etnis yang ia jalani diceritakannya berulang-ulang. Ia tipe penutur yang hebat. Dalam setiap tuturan, ia hidupkan kembali rekaman historis perjumpaan kemanusiaannya dengan sangat dinamis.
Cara “bacarita” (bercerita) Kyai Arifin bagi saya adalah bentuk perayaan terhadap memori-memori kolektif yang meneguhkannya sebagai seorang pluralis. Secara tak langsung ia mengingatkan saya bahwa memori kolektif adalah salah satu elemen penting dalam membangun dialog lintas agama ataupun etnis, pada saat banyak orang berupaya mencari pijakan bersama dalam suatu proses dialog. Mendengarnya bertutur, saya percaya bahwa konstruksi oral dari memori kolektif dalam banyak hal memperkuat rajutan dialog, sekalipun sering disepelekan atau bahkan dilupakan.
Melalui tuturan, Kyai Arifin mengambil sudut lain dari mainstream dalog lintas agama yang kerap terbangun dalam bentuk dialog tekstual dan didominasi oleh para elit. Ia melakukan rekonstruksi memori kolektif dari masa lalu, kemudian mengartikulasikannya ulang sebagai medium bagi keterlibatan sosial (social engagement) dalam perjumpaannya dengan saya. Saya lalu mencoba paham, bahwa dengan berulangkali menanyakan tentang keberadaan Art Manuputty maka Ustadz Arifin sebenarnya tidak sedang latah. Sesungguhnya ia sedang menuntun saya untuk menerimanya sebagai sahabat, sebagaimana ia menakar kedekatan persahabatannya dengan Art Manuputty. Menurut saya, pendekatan ini cukup efektif untuk menciptakan atmosfir yang sejuk dan damai, sebelum dialog kita berlanjut pada berbagai isu lainnya, termasuk isu-isu yang mungkin sensitif.
Ngobrol dengan Ustadz Arifin adalah proses pembelajaran. Ia sangat kaya dengan berbagai tuturan naratif dan kental dengan berbagai kisah mengenai persahabatan, norma-norma dan cara membangun kepercayaan. Ceritanya tentang berbagai jejaring persahabatan lintas iman dan etnis yang dilakoninya, menegaskan bahwa kedalaman keterlibatan sosial adalah pilar penting bagi upaya membangun rasa percaya dan penerimaan satu sama lainnya. Kyai Arifin telah melakoninya, dan meninggalkannya sebagai jejak untuk ditapaki lebih lanjut oleh kami.
Selamat jalan Kyai Arifin. Semoga kami diteguhkan untuk secara konsisten mengkreasi memori-memori kolektif tentang kemanusiaan, menghidupinya, dan selalu merayakannya.
Penulis adalah Pendeta GPM, penggiat dialog antar-iman di Ambon
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...