Obituari: Utomo Dananjaya dan Pendidikan Kritis
SATUHARAPAN.COM - Kabar duka itu datang ketika sebagian besar masyarakat Indonesia berdebar-debar menanti hasil penghitungan suara pemilu presiden. Indonesia kembali kehilangan seorang tokoh pendidikannya. Utomo Dananjaya – seorang guru, cendekiawan, dan pejuang pendidikan - meninggal dunia Selasa 22 Juli dinihari di usianya ke-78.
Sepanjang hidupnya, Utomo mendedikasikan dirinya untuk pendidikan. Ia pernah menjadi guru SD dan SMP di Jawa Barat. Akan tetapi kariernya menjadi guru di sekolah formal terhenti di tahun-tahun awal karena gaya mengajarnya yang “hiper-kreatif”.
Terpental dari guru sekolah formal, ia meneruskan kariernya menjadi guru untuk para aktivis. Bersama Nurcholis Madjid atau Cak Nur, Utomo juga dikenal sebagai guru agama Islam untuk kalangan menengah melalui Yayasan Paramadina-nya. Dari sana ia kemudian kembali ke dunia pendidikan formal, memimpin beberapa universitas swasta di Jakarta. Bersama Cak Nur, Utomo juga mendirikan Universitas Paramadina. Di masa tuanya, Utomo bergiat sebagai aktivis pendidikan dengan mendirikan Institute for Education Reform (IER) Paramadina.
Serangan stroke yang dialaminya tidak membuatnya surut. Dalam proses peyembuhan, di sebuah rumah seorang anaknya di Bukit Sariwangi, Bandung Barat, kakek dengan sembilan cucu ini terus bersuara melalui sejumlah artikel yang ditulisnya di suratkabar. Dari tempatnya menyepi itu Utomo juga menyelesaikan dua buku Media Pembelajaran Aktif yang berisi tentang berbagai metode belajar kritis dan kreatif yang menjadi obsesi Utomo sejak masa mudanya. Meski mobilitasnya fisiknya berkurang, Utomo tetap bersemangat saat berbicara tentang pendidikan. Ia tetap jenaka dan menyenangkan sebagai kawan bicara, sebuah karakter utama yang melekat pada dirinya.
Meski cukup singkat, pengalaman Utomo mengajar di SD dan SMP cukup dahsyat. Sebagai guru, ia tidak pernah kapok bereksperimen dan menemukan metode mengajar yang kreatif, menyenangkan tetapi sekaligus mengasah anak berpikir kritis. Tidak pernah kapok karena eksperimentasinya itu lebih sering membuat ia dikucilkan, dikecam, dan mendapatkan teguran daripada pujian.
Utomo sangat piawai dengan berbagai bentuk permainan dan metode pembelajaran kreatif. Dengan tangan kosong, ia sanggup membuat kelas menjadi hidup. Ia menyuruh murid-muridnya memukul-mukul meja. Dari suara tidak beraturan, Utomo meminta anak-anak memukul sambil mendengarkan. Dalam waktu singkat komposisi perkusi pun dihasilkan. Adegan itu mirip seperti Pak Guru Matheuw saat memperkenalkan musik di sekolah untuk anak-anak bermasalah dalam film Perancis Les Choristes.
Banyak cerita menarik yang saya dengar langsung dari Pak Utomo. Ia mengajar anak-anak membaca di kelas 1 SD dengan kata-kata sehari-hari yang dikenal anak, mirip dengan cerita Paulu Freire – tokoh pendidikan kritis dari Brazil – belajar membaca dari orangtuanya. Aksi “gila” Utomo terjadi begitu saja saat ia mengajar olahraga. Tanpa ragu ia menelungkupkan diri di lantai dan meminta murid-murid melompatinya. Anak-anak senang bukan kepalang tapi sebaliknya, kepala sekolah dan guru-guru yang lain mengecamnya karena dianggap merendahkan martabat guru.
Sebagai guru muda, Utomo sangat mencintai murid-muridnya. Ia pernah bercerita, seorang murid perempuannya sering ke sekolah tidak mandi, badannya dekil, berpakaian kotor, baunya bukan main. Kawan-kawan sebayanya selalu menghindar. Tanpa ragu-ragu, Utomo justru memeluk dan murid itu. Rupanya, sang anak menceritakan pada ibunya. Sejak peristiwa itu, anak tersebut selalu mandi sebelum berangkat sekolah. Pakaiannya pun bersih.
Karena pembangkangan dalam pakem mengajarnya itu Utomo terpental dari SD tempat ia mengajar hanya dalam kurun waktu enam bulan. Lulus dari Sekolah Guru B, ia mengajar sebagai guru SMP di Garut. Di sana lagi-lagi ia menjadi guru pembuat masalah. Ia ditudung sebagai biang pembuat kegaduhan gara-gara suka mengajak murid-muridnya bereksperimen sains tanpa ada laboratorium.
Suatu saat ia mengajak murid-muridnya bereksperimen tentang perubahan bentuk zat. Ia mengajak murid-muridnya membekukan air dengan membuat es puter saat libur sekolah hari Minggu. Karena kesulitan memutar tabung, ia menyuruh anak-anak menggelindingkan tabung itu di lantai. Esoknya, tabung itu meninggalkan garis-garis kotor di lantai yang sulit dibersihkan. Utomo pun kena damprat dari kepala sekolah, dilakukan di depan murid-muridnya pula.
Tak tahan ia kemudian berpindah mengajar ke SMP Negeri 5 di Bandung. Akan tetapi eksperimen kreatif memang tidak mendapatkan ruang di sekolah formal. Utomo akhirnya memutuskan berhenti mengajar di sekolah untuk selama-lamanya setelah ia bertengkar dengan kepala sekolah karena urusan penerimaan murid baru. “Sudah cara mengajarnya begitu-begitu saja masih pilih kasih. Sekolah memang rusak, saya memutuskan berhenti,” kata Utomo.
Di luar sekolah, Utomo justru mendapatkan tempat. Setelah lepas dari profesinya sebagai guru, ia memimpin organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Sejak itu ia menjalani hidupnya sebagai pelatih dalam pelatihan kepemimpinan di organisasi itu. Ia memperkenalkan metode-metode pelatihan partisipatoris, penyadaran, yang populer diterapkan dalam pelatihan-pelatihan organisasi nonpemerinah saat itu.
Dari situlah Utomo kemudian menjadi seorang suhu dalam pelatihan, yang dikukuhkan dengan posisinya sebagai koordinator pelatihan di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES). Ratusan aktivis telah dilahirkannya, termasuk almarhum Mansour Fakih, aktivis dan pendiri Institute for Social Transformation (Insist) yang bermarkas di Yogyakarta.
Nama Utomo terpateri di benak para aktivis terutama berkat buku Paulo Freire yang diterjemahkannya bersama sejumlah koleganya di LP3ES dengan judul Pendidikan Kaum Tertindas pada 1984. Buku ini dicetak ulang enam kali, terakhir 2011. Saya pertama mengenal Utomo Dananjaya juga dari buku ini, yang saya peroleh pada pertengahan 1980-an dalam bentuk fotokopi. Saya mempelajari kembali Paulo Freire pedagogi kritis saat saya menjadi jurnalis bidang pendidikan pada awal 2000-an. Pedagogi kritis kemudian menjadi kacamata saya dalam menulis tentang.
Belakang hari, bersama kawan-kawan Koalisi Pendidikan dan Sekolah Tanpa Batas, saya mencoba memperkenalkan pedagogi kritis pada guru-guru sekolah formal. Yang mengherankan bagi saya, Paulo Freire dan pedagogi kritis tidak dikenal oleh sebagian besar guru sekolah formal di Indonesia dan tidak diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan calon guru. Tokoh-tokoh pendidikan kritis asli Indonesia, seperti Ki Hadjar Dewantara, Tan Malaka, Muhammad Sjafei juga nyaris tak disentuh.
Saya mengenal Pak Utomo lebih sebagai aktivis dan pejuang pendidikan. Suatu kali, saya bersama sejumlah aktivis mahasiswa mengundang Utomo untuk memberikan pelatihan pendidikan kritis di Garut. Ia mengajar tanpa berceramah. Salah satu yang dilakukannya, ia meminta peserta pelatihan mengumpulkan air mineral dalam kemasan gelas dari berbagai merk. Ia lalu meminta peserta menebak-nebak berapa volume air dalam gelas-gelas plastik itu dan mencocokkannya dengan ukuran yang tertera dalam label. Setelah itu, ia mengajak peserta untuk mengukur volume air sebenarnya dengan gelas ukur. Ternyata beda satu sama lain. Itulah mengajar berpikir kritis. “Kita memang jarang mempertanyakan dan berpikir kritis,” kata Utomo.
Seingat saya, Pak Utomo sangat jarang mengutip pemikiran Freire maupun tokoh-tokoh pendidikan kritis lainnya. Utomo lebih tertarik pada metode pembelajaran kreatif dan berpikir kritis daripada pedagogi kritis. Itulah yang kemudian agak menjauhkan Utomo dengan kami di Koalisi Pendidikan dan Sekolah Tanpa Batas.
Kami selalu ingat kritik Tan Malaka tentang guru-guru yang “mabuk metode”. Pendidikan kritis, bagi kami, bukan sekedar berpikir kritis tetapi juga penyadaran dan aksi sebagai respon terhadap situasi penindasan atau ketidakadilan. Dalam kacamata pedagogi kritis, eksperimen Utomo dengan air mineral perlu diteruskan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: Mengapa sekarang masyarakat kita lebih suka minum air kemasan? Siapa yang diuntungkan dengan ini? Apa yang bisa kita lakukan agar air dari sumur bisa kia minum lagi?
Tentu saja ini tidak sedikitpun mengurangi hormat saya dan sumbangan Pak Utomo dalam pendidikan di Indonesia. Utomo yang saya kenal merupakan salah satu orang terdepan yang memperjuangkan dikembalikannya otoritas dan kemerdekaan guru, pendidikan tanpa diskriminasi, hak orang miskin untuk pendidikan yang berkualitas, penghapusan Ujian Nasional, dan reformasi pendidikan secara umum. Suara lantang yang digaungkan Utomo memang belum membuat pendidikan Indonesia kembali di jalan yang benar, sesuai yang diamanatkan oleh konstitusi ataupun yang dicita-citakan oleh para perintis pendidikan nasional.
Saat Utomo berpulang, Universitas Paramadina telah melahirkan seorang bintang. Anies Baswedan yang berada di barisan depan dalam pemenanangan Jokowi, disebut-sebut sebagai salah satu calon kuat untuk menduduki posisi sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Tidak ada buruknya bila Anies belajar dari Utomo dan mempelajari kembali buku babon pendidikan untuk pemerdekaan yang pernah diterjemahkan oleh almarhum.
Selamat Jalan Pak Utomo.
Penulis adalah aktivis Sekolah Tanpa Batas.
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...