OPEC+ Sepakati Pengurangan Dua Juta Barel Produksi Minyak
SATUHARAPAN.COM-OPEC+ menyetujui pengurangan dua juta barel per hari (bpd) produksi minyak terbanyak sejak pandemi COVID-19 tahun 2020 pada pertemuan di Wina pada hari Rabu (5/10), membatasi pasokan di pasar yang sudah ketat meskipun ada tekanan dari Amerika Serikat dan lainnya untuk memompa lebih banyak minyak.
Pemotongan dapat memacu pemulihan harga minyak yang telah turun menjadi sekitar US$ 90 dari US$ 120 per barel tiga bulan lalu di tengah kekhawatiran resesi ekonomi global, kenaikan suku bunga AS dan dolar yang lebih kuat.
Amerika Serikat telah mendorong OPEC untuk tidak melanjutkan pemotongan, dengan alasan bahwa fundamental tidak mendukung mereka, kata seorang sumber yang mengetahui masalah tersebut.
OPEC+ (plus) menurunkan sekitar 3,6 juta barel per hari dari target produksinya pada Agustus.
"Harga minyak yang lebih tinggi, jika didorong oleh pengurangan produksi yang cukup besar, kemungkinan akan mengganggu pemerintahan Joe Biden menjelang pemilihan paruh waktu AS," kata analis Citi dalam sebuah catatan.
"Mungkin ada reaksi politik lebih lanjut dari AS, termasuk rilis tambahan saham strategis, bersama dengan beberapa wildcard termasuk pembinaan lebih lanjut dari UU NOPEC," kata Citi, merujuk pada RUU anti monopoli AS terhadap OPEC.
JPMorgan juga mengatakan pihaknya memperkirakan Washington akan melakukan tindakan balasan dengan melepaskan lebih banyak stok minyak.
Harga Minyak Naik
Arab Saudi dan anggota OPEC+ lainnya, yang mengelompokkan dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan produsen lain termasuk Rusia, mengatakan mereka berusaha mencegah volatilitas daripada menargetkan harga minyak tertentu.
Benchmark minyak mentah Brent naik menjadi US$ 93 per barel pada hari Rabu, setelah naik pada hari Selasa.
Barat menuduh Rusia mempersenjatai energi, menciptakan krisis di Eropa yang dapat memicu penjatahan gas dan listrik musim dingin ini.
Moskow menuduh Barat mempersenjatai dolar dan sistem keuangan seperti SWIFT sebagai pembalasan atas Rusia yang mengirim pasukan ke Ukraina pada Februari.
Barat menuduh Moskow menginvasi Ukraina, sementara Rusia menyebut tindakannya sebagai operasi militer khusus.
Wakil Perdana Menteri Rusia, Alexander Novak, yang dimasukkan dalam daftar sanksi khusus warga negara AS pekan lalu, juga melakukan perjalanan ke Wina untuk berpartisipasi dalam pertemuan itu. Novak tidak berada di bawah sanksi Uni Eropa.
Editor : Sabar Subekti
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...