Opicha, “Menyulap” Sampah Jadi Rupiah
PADANG, SATUHARAPAN.COM – Siang itu di sebuah hotel di Kota Padang, Sumatera Barat, Maivita menyusun beberapa produk kerajinan buatannya di sebuah meja yang disediakan panitia. Ia menyusun dengan apik hingga semua produk kerajinannya terlihat dengan jelas.
Mainan kunci, tempat pensil, tempat tisu, keranjang belanja, dompet, hingga tas dengan corak khas itu, sontak menarik perhatian ibu-ibu PKK dan Dasa Wisma yang sedang mengikuti pelatihan di hotel itu.
Maklum, tema pelatihan sejak pagi adalah tentang pengolahan sampah, mendorong PKK dan ibu-ibu Dasa Wisma bisa berperan dalam pemilahan sampah sejak di rumah tangga hingga mengolah menjadi pupuk kompos.
Pola dan corak kerajinan merek Opicha Craft itu, baik dompet maupun tas, menampilkan desain yang lain dari yang lain. Beberapa item sudah ditempeli label harga, seperti bros Rp5 ribu-10 ribu, tempat pensil berbagai corak Rp35 ribu. Harga terjangkau. Beberapa item lagi juga dijual dengan harga relatif murah. Namun, yang paling menarik perhatian adalah sebuah tas warna hitam bercorak.
Tas cantik itu sepertinya cocok untuk dibawa ke berbagai kegiatan. Bahkan tidak malu rasanya jika dibawa ke pesta. Tetapi, modelnya yang terlihat eksklusif dan tanpa label harga membuat semangat mereka menyurut.
Ibu-ibu memang tidak salah menilai barang. Tas yang menarik perhatian itu memang hanya ada dua di dunia. “Owner” Opicha Craft, Maivita, menyebut bahan bakunya, sampah plastik, dan tas itu tidak diproduksi lagi.
Sampah? Ya! Semua barang kerajinan itu dibuat dari sampah. Sampah plastik yang tidak punya harga, yang biasa dibuang, dan mencemari lingkungan itu!
Satu tas butuh 1000 kemasan plastik sebuah produk kopi siap saji. Dibentuk menjadi pola, dipotong, dijahit dengan hati-hati, dan dirangkai satu per satu menjadi sebuah tas yang cantik.
“Setelah membuat dua tas, tiba-tiba kemasan kopi itu berubah. Pabrik memperbaharui kemasannya sehingga corak dan warna yang lama tidak bertemu. Tas yang sama tidak mungkin dibuat lagi. Jadi, hanya ada dua di dunia,” katanya, seperti dikisahkan Miko Elfisha dan dilansir Antara.
Perubahan kemasan oleh pabrik itu merupakan salah satu kelemahan produk kerajinan dari daur ulang sampah plastik. Pola dan corak kerajinan sepenuhnya bergantung pada bentuk dan warna kemasan bahan baku. Jika bahan baku berubah, pola yang sama tidak bisa dibuat lagi.
Untuk produk kerajinan yang tidak perlu bahan baku banyak seperti dompet atau kotak pensil, hambatan itu tidak terlalu terasa. Pada saat proses bahan baku berubah pun, tidak akan terlalu rugi.
Daur Ulang untuk Kelestarian
Maivita punya gelar akademik AMG, ahli madia gizi. Tidak berkaitan dengan sampah, namun kepeduliannya terhadap lingkungan dengan melakukan proses daur ulang sampah plastik menjadi produk kerajinan bernilai, patut diacungi jempol.
Bermula dari keprihatinan melihat banyaknya sampah plastik berserakan, ia mulai berpikir bagaimana memanfaatkannya agar tidak terlalu mencemari lingkungan. Menjadikannya sebuah produk kerajinan adalah solusi yang dipilihnya.
Berbekal tekad dan keinginan belajar secara otodidak, ia memulai proses mendaur ulang sampah jadi produk-produk yang menarik. Awalnya hanya untuk keperluan pribadi. Lama-lama, seiring semakin rapi dan baiknya hasil produk yang dihasilkan, mulai banyak yang tertarik membeli.
“Awalnya anak membawa tempat pensil buatan saya ke sekolah. Ternyata banyak temannya yang tertarik dan memesan. Sejak itu, sekitar 2015, muncul semangat untuk memulai usaha,” katanya.
Maka dimulailah “misi” pengumpulan kemasan plastik untuk disulap menjadi kerajinan. Misi yang dianggap aneh oleh orang-orang sekitar pada awalnya. Tidak sedikit yang mencibir. Namun, Maivita tetap pada jalan itu. Jalan daur ulang.
Keseriusan itu berbuah manis. Banyak pesanan yang masuk sampai-sampai ia kesulitan mencari dan mengumpulkan bahan baku untuk memenuhi permintaan. Maivita pun mulai berpikir untuk melibatkan ibu-ibu sekitar tempat tinggalnya.
Melihat daur ulang itu benar-benar bisa menghasilkan rupiah, mulai ada yang tertarik bergabung. Dimulai dengan membantu mencari dan mengumpulkan bahan baku, lalu menjualnya pada Opicha Craft. Lalu lama kelamaan mereka pun ingin bisa membuat dan memasarkan sendiri.
Maivita pun berbagi ilmu dengan ibu-ibu itu. Setidaknya semakin banyak yang tertarik untuk membuat kerajinan dengan daur ulang sampah plastik, sedikit banyaknya pasti akan berpengaruh positif terhadap lingkungan, di samping ada pemasukan pula.
Jalan Pengkhianatan
Sebagai sebuah usaha yang merangkak dari bawah, Maivita sangat paham betapa penting jejaring dan dukungan pembinaan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah. Tanpa itu, usaha akan stagnan. Jalan di tempat. Sulit berkembang.
Ia masuk menjadi peserta dalam berbagai kegiatan yang dimotori pemerintah melalui instansi terkait. Ia juga masuk, belajar dan berinteraksi dengan kegiatan yang digagas lembaga lain seperti BUMN.
Salah satunya adalah Rumah Kreatif BUMN (RKB) BNI yang banyak memberikan pelatihan dan pembinaan. Jejaring itu juga memberikan kesempatan kepadanya mengikuti banyak pameran di berbagai daerah sehingga produk Opicha Craft makin dikenal.
Selain itu, ia memanfaatkan kemajuan teknologi untuk merangkul pasar. Cukup banyak laman penjualan daring (on line) yang menjual produk Opicha seperti https://mitrabni.co.id/https://mitrabni.co.id, https://opicha-craft.business.site, https://www.bukalapak.com, dan https://www.blanja.com.
Produk yang berasal dari daur ulang sampah bukan lagi menjadi sebuah kekurangan, tapi sebuah kelebihan karena ikut membantu kelestarian lingkungan, menyelamatkan bumi dari pencemaran sampah plastik.
Sayangnya, tingginya pesanan membuat sebagian orang mulai mencari jalan lain, jalan “penghianatan” atas daur ulang. Demi mendapatkan bahan baku mereka membeli produk yang masih baru dan membuang isinya. Maivita menilai itu hanya akan mendorong produsen memperbanyak produksi dan berpeluang lebih besar mencemari lingkungan.
Naik Kelas
Usaha Opicha Craft dengan prinsip daur ulang itu mendapat dukungan dari anggota DPR RI Nevi Zuairina yang juga menjabat Ketua PKK Sumatera Barat.
Nevi menilai kualitas produk yang dihasilkan Opicha Craft sangat layak “naik kelas”, dijual di Bandara Internasional Minangkabau (BIM).
Menurutnya, jika kualitas sudah baik, pasar akan terbuka lebar. Tinggal memberikan kesempatan. Ia akan berupaya mencarikan jalan agar usaha yang mendukung kelestarian lingkungan itu bisa mendapatkan tempat di bandara.
Nevi juga mendorong Maivita ikut aktif dan gencar mengkampanyekan bijak mengelola sampah plastik mulai dari rumah tangga.
Ia berharap ke depan akan makin banyak usaha yang tidak hanya berorientasi profit, tetapi juga melestarikan lingkungan sehingga pencemaran bumi dari sampah bisa dikurangi. (Ant)
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...