Loading...
SAINS
Penulis: Sabar Subekti 12:10 WIB | Senin, 11 Desember 2023

Orang Muda Berjuang Mengatasi Masalah Sampah

Orang Muda Berjuang Mengatasi Masalah Sampah
Anggota kelompok Pejuang Kebersihan Situ Gede memunguti sampah di Danau Setu Gede, Bogor, Jawa Barat, Indonesia, Selasa, 10 Oktober 2023. (Foto-foto: AP/Achmad Ibrahim)
Orang Muda Berjuang Mengatasi Masalah Sampah
Aktivis lingkungan hidup Giri Marhara berbincang dengan anggota Pejuang Kebersihan Situ Gede sebelum mereka memunguti sampah di Danau Setu Gede di Bogor, Jawa Barat, Indonesia, Selasa, 10 Oktober 2023.
Orang Muda Berjuang Mengatasi Masalah Sampah
Aktivis lingkungan Pejuang Kebersihan Situ Gede memunguti sampah di Danau Setu Gede, Bogor, Jawa Barat, Indonesia, Selasa, 10 Oktober 2023.
Orang Muda Berjuang Mengatasi Masalah Sampah
Aktivis lingkungan Pejuang Kebersihan Situ Gede bersorak usai memunguti sampah di Danau Setu Gede, Bogor, Jawa Barat, Indonesia, Selasa, 10 Oktober 2023.

BOGOR, SATUHARAPAN.COM-Di sebuah danau di kota Bogor, Jawa Barat, anak-anak dan remaja mendayung menuju tumpukan sampah yang mengapung, memungutnya dan memasukkannya di kayak mereka, sebelum memberikannya kepada teman-temannya yang memilahnya di darat.

Kelompok yang terdiri dari sekitar 20 anak muda ini memulai sebagai sebuah tim yang terdiri dari satu orang, satu dekade lalu, ketika Giri Marhara memutuskan untuk mulai membersihkan danau. Saat itu, ia baru berusia 16 tahun dan sudah memiliki kecenderungan ingin membersihkan lingkungannya, mulai dari ruang kelas hingga lingkungannya.

Kaum muda seperti Marhara telah berada di garis depan gerakan lingkungan hidup dan perubahan iklim dalam beberapa tahun terakhir: inisiatif seperti protes sekolah untuk aksi iklim, protes pada pembicaraan iklim PBB dan di seluruh dunia, dan pembersihan lokal sering kali dipimpin oleh kaum muda.

Ketika menyangkut pemulungan sampah, para ahli mengatakan ini adalah solusi sementara, dan masalah yang lebih besar yaitu menghasilkan terlalu banyak sampah perlu diatasi. Namun upaya yang relatif kecil di Indonesia ini berhasil diterima oleh generasi muda, sehingga menarik dukungan dan perhatian.

“Bagi saya bersih-bersih itu katarsis, bersih-bersih itu menyegarkan,” kata Marhara yang sering ditanyai oleh anak-anak yang bermain di dekatnya apakah mereka bisa membantu bersih-bersih. “Saya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mendidik anak-anak bahwa ini adalah sesuatu yang positif, sesuatu yang mungkin harus Anda jadikan kebiasaan juga,” kata Marhara, sehingga ia mendorong mereka untuk membantu.

Tahun lalu mereka membentuk kelompok yang diberi nama Pejuang Kebersihan Situ Gede, yang namanya diambil dari nama danau tersebut. Mereka mendayung atau berkayak melintasi danau, memungut sampah, dan mengidentifikasi apa yang bisa didaur ulang. Kelompok kayak setempat meminjamkan perahu mereka untuk inisiatif Marhara, dan para anggota bergiliran mengayuh melintasi danau atau memilah sampah di tepi pantai menjadi sampah yang dapat didaur ulang atau digunakan kembali dan sampah yang perlu dibuang.

Selama 10 tahun, Marhara dan teman-temannya telah mengumpulkan lebih dari 2.700 kilogram sampah di dalam dan sekitar danau Situ Gede melalui berbagai inisiatif.

Namun permasalahan sampah di negara ini jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang dapat dibawa oleh kelompok tersebut melalui saluran air.

Indonesia menghasilkan lebih dari 35 juta ton sampah tahun lalu, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia. Diperkirakan 35% sampah di negara ini tidak dikelola. Sampah di pinggir jalan, di saluran air, dan lingkungan alam merupakan pemandangan yang lumrah.

Sampah juga bertanggung jawab atas sekitar 3% emisi gas rumah kaca global, menurut World Resources Institute. Sebagian besar gas tersebut berasal dari sampah makanan, yang jika dibiarkan membusuk di tempat pembuangan sampah, dapat mengeluarkan metana, gas penyebab pemanasan global yang 80 kali lebih kuat daripada karbon dioksida dalam jangka pendek.​

Permasalahan sampah juga menimbulkan permasalahan kesehatan: Sampah plastik, misalnya, terurai menjadi potongan-potongan kecil yang disebut mikroplastik, yang dapat masuk ke dalam tubuh manusia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal ini dapat berdampak pada sistem endokrin, saraf, dan kekebalan tubuh, serta dapat meningkatkan risiko kanker.

“Implikasinya sangat serius dan perlu diatasi,” kata Abdul Ghofar, pakar perkotaan dan polusi di Forum Lingkungan Hidup Indonesia. “Ada kerugian lingkungan hidup, kerugian kesehatan, dan tentu saja ada kerugian ekonomi” karena biaya pemulihan lingkungan.

Ada alternatif selain membuang sampah sembarangan: sisa makanan dapat dibuat kompos, dan beberapa jenis sampah lainnya, seperti jenis plastik tertentu, dapat digunakan kembali atau didaur ulang. Namun para pemerhati lingkungan juga mengatakan bahwa dunia perlu mengurangi jumlah sampah, karena sebagian besar sampah akan berakhir di tempat pembuangan sampah atau di lautan.

“Kita harus didorong untuk mencari tahu dari mana sumber pencemaran tersebut dan bagaimana cara menghentikannya,” kata Ghofar. “Istilahnya di kalangan pemerhati lingkungan adalah menutup keran, atau mematikan keran. Pencemaran ini tidak akan pernah berakhir jika sumber pencemarannya tidak ditutup.”

Namun seiring dengan masih adanya keran sampah, kegiatan bersih-bersih yang dilakukan oleh generasi muda masih dapat memberikan dampak, meskipun hanya berdampak pada wilayah kecil atau komunitas. Hal itulah yang disaksikan Trisna Rengganis di lingkungannya di Depok, pinggiran Jakarta.

Kelompok Komunitas Ciliwung Depok bekerja dengan lingkungan sekitar Jabodetabek dalam upaya konservasi seperti membersihkan sungai dan bantaran sungai.

Rengganis, salah satu relawan yang tergabung dalam kelompok tersebut, mengatakan bahwa terdapat stigma terhadap mereka yang mengatakan sungai Ciliwung memiliki masalah sampah, padahal banyak warga yang membuang sampah ke dalam air dan tidak ada sistem pengelolaan sampah yang baik di kawasan tersebut.

Namun sejak adanya upaya pembersihan, anak-anak dari daerah sekitar mulai kembali berkunjung dan bermain di tepi sungai, pemandangan yang jarang terjadi di kota besar, kata Rengganis. Melihat anak-anak di bank Ciliwung mengingatkannya pada masa kecilnya, katanya.

“Mereka merasa nyaman dan aman,” di tepi sungai, kata Rengganis. “Saya berharap, di sisi lain Ciliwung, hulu dan hilir, mereka bisa melakukan hal yang sama.”

Rengganis berharap momentum pembersihan sungai dan mengatasi permasalahan sampah di kawasan ini terus berlanjut, sehingga generasi mendatang juga dapat menikmati kawasan tersebut.

Marhara percaya bahwa perubahan yang bertahan lama memerlukan perubahan budaya yang akan bertahan bahkan ketika produksi sampah dibatasi. “Saya mencoba untuk melawan perilaku yang menyebabkan sampah berserakan di lingkungan,” katanya, sambil mengatakan bahwa negara ini memiliki “budaya membuang sampah sembarangan.

“Saya pikir satu-satunya cara untuk melawan budaya tersebut adalah dengan mengembangkan budaya tandingan,” yaitu budaya bersih-bersih, katanya. (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home