Orasi Ilmiah Bambang Subandrijo, Ph.D: Menggapai Sumur Tanpa Dasar
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Bambang Subandrijo, Ph.D. dosen STT Jakarta bidang Perjanjian Baru dan Bahasa Yunani, menyampaikan orasi ilmiah yang berjudul “Sumur Tanpa Dasar, Meniti Ziarah Teologis Paulus Mengapai Allah,” pada Dies Natalis STT Jakarta ke-79 pada Jumat (27/9) dihadapan para Civitas Akademika, sekaligus menjadi puncak dari rangkaian kegiatan Dies Natalis STT Jakarta tahun ini.
Judul orasi ini terinspirasi oleh judul drama kontemplatif Arifin C Noor: “Sumur Tanpa Dasar” yang dipentaskan pada tahun 1971. Judul ini dipinjam, karena bagi Bambang Subandrio, mampu menggambarkan pergumulan dan perenungan iman yang mendalam. Rangkaian kata-kata tokoh Jumenalah yang memikat bambang untuk memulai paparan pergumulannya.
Jumena: //kalau saya bisa percaya, saya tenang// Kalau saya bisa tidak percaya, saya tenang// Kalau saya percaya dan bisa tidak percaya, saya tenang// Tapi saya tidak percaya dan tidak bisa tidak percaya, jadi saya tidak tenang// Tapi juga kalau saya tenang, tak akan pernah ada sandiwara ini//
Dalam diskursus iman, hal yang menjadi persoalan bukan lagi “Apakah Allah itu ada?”, melainkan pertanyaan-pertanyaan, “Bagaimanakah Allah itu dipahami oleh manusia?”, “Bagaimana pernyataan-pernyataan-Nya kita mengerti?”, “Apakah yang dikehendaki Allah untuk kita lakukan?”. Bagi Bambang Subandrio, ayat-ayat kitab suci tak sepenuhnya menjadi jawab yang cepat, bak kitab KUHP, namun menantang masuk perjalanan pencarian yang terus-menerus.
Musafir Pencari Kebenaran
Tentang perjalanan pencarian kebenaran ini, Bambang Subandrio menjelaskan dalam wawancara dengan satuharapan.com: “Manusia tidak mampu merengkuh-Nya secara tuntas. Yang dapat dipahami hanyalah sebatas spektra cahaya kebenaran yang terpancar dari pada-Nya, yang terbatas tak kan mampu menampung yang tak terbatas (finitum non capax infiniti)."
"Dengan keterbatasannya, manusia berusaha menggapai pendar-pendar cahaya kebenaran Sang Maha ada. Karenanya, manusia tidak akan pernah memahami Allah secara utuh, bila ada, hal ini berarti dia bukan Allah lagi. Yang mampu dipahami manusia, hanyalah serpihan kebenaran-Nya. Menggapai kebenaran yang tak terbatas dari Sang Mahabenar, ibarat menggapai kedalaman sumur tanpa dasar,” kata dia.
Dalam konteks kehidupan beriman, dijelaskan, “Kita harus membuka diri akan pancaran yang ditangkap oleh pihak lain, entah internal kristen, dan eksternal orang lain dengan agama lain. Pancaran kebenaran ini kita tangkap dan kita kontribusikan kepada pihak lain lagi, hal ini kita lakukan karena kita semua pada dasarnya adalah pencari atau berusaha memahami kebenaran Allah.”
Dalam konteks yang lebih luas, “Kalau antar agama bukan mengklaim, kebenaranku yang paling mutlak, dan kebenaranmu itu salah, kalau tidak itu yang terjadi, sebenarnya, walaupun perbedaaan tetap ada, tetapi rukun, karena memperkaya kebenaran itu sendiri. Kerukunan dapat terjadi, ketika semua umat menyadari keterbatasannya, bahwa dalam keyakinannya, spektrum kebenaran yang dimiliki adalah spektrum yang ditangkap oleh komunitasnya, sekaligus sadar ada spektrum kebenaran Allah yang ditangkap oleh orang lain juga.”
Belajar dari Rasul Paulus, Bambang Subandrijo menyimpulkan, sebagai berikut: Paulus tiba pada pemahaman, “Alangkah dalamnya hikmat dan pengetahuan Allah, sungguh tak terselami dan terjajagi”. Pada satu sisi berada pada sikap kegelisahan yang mendorong untuk mencari dan pada sisi lain pada sisi kerendahhatian, bahwa yang mampu ditangkap hanya sebagian spektrum kebenaran.
Dalam memahami Kristus, Paulus memahami sebagai penyataan Allah. Memahami Kristuspun tidak tuntas, sebenarnya. Kristus tidak mungkin dipahami secara utuh, sama seperti spektrum kebenaran Allah. Kristus adalah pernyataan Allah yang harus selalu dicari dan salah satu cara adalah “menapakan kaki di jejak-Nya”, artinya kita mengikuti jalan Dia. Ya perkataan-Nya, ya sikap-Nya, sampai dengan pada resiko yang harus ditanggung ketika menyatakan kebenaran.
Kemudian dalam kehidupan jemaat, sebagai persekutuan yang merespon kasih Allah. Ini juga tidak pernah selesai. Tidak ada bentuk yang pasti, setiap tempat boleh mengemas kekristenannya, sesuai dengan konteks dialami. Oleh sebab itu tidak ada bentuk kekristenan yang pasti seperti ini atau itu. Setiap komunitas dg kulturnya boleh mengungkapkan imannya kepada Allah dengan kebenaran yang mampu ditangkap oleh komunitas itu. Pencarian tidak pernah selesai, bentuk kekristenan tidak, selalu dalam pencarian.
Relevansi Pencarian di “Sumur Tanpa Dasar”
Tentang relevansi dalam kehidupan berjemaat dan bermasyarakat, maka Bambang Subandrijo menjelaskan dengan rinci. Relevansi yang pertama untuk jemaat: selalu menjadi jemaat yang dinamis, berusaha terus mencari, karena pencarian kita ini tidak pernah berakhir. Keliru kalau ini pencarian sumur tak berdasar, menjadi mandeg dan diam saja. Bukan itu. Justru kita harus semakin mencari kebenaran Allah.
Hal yang kedua, mengungkapkannya dalam totalitas kehidupan yang dipersembahkan kepada Allah yang mewujud dalam realitas kehidupan.
Relevansi yang ketiga, tantangan menemukan identitas kristen dalam persekutuan sungguh-sungguh diikat dalam 3 hal kebersamaan: kesadaran iman atas penyelamatan Allah, penghayatan hidup beriman yang sama dan minat yang sama untuk menjawab kasih Allah. Bila hal ini terjadi, maka akan terwujud jemaat yang masif, yang tidak ada sekat-sekat jemaat. Perbedaan tetap ada, tetapi dapat saling memperkaya.
Implikasi lebih luas dalam hidup antar jemaat, jemaat yang bermacam-macam adalah persekutuan umat yang sedang merespon kasih Allah. Sehingga hubungan antar gerejapun baik, dan bukan saling menyombongkan diri, mempersalahkan satu dengan yang lain.
Implikasi sikap dengan agama-agama lain, bila kita semua menyadari bahwa kita semua ini musafir yang sedang mencari kebenaran Allah, berarti tidak saling menyombongkan diri dan mengklaim yang paling benar, sambil mempersalahkan pihak lain, tetapi terbuka diperkaya dan memperkaya kebenaran-kebenaran kita. Ini akan menciptakan kerukunan antar umat beragama, skalipun berbeda-beda, tetapi masing-masing menyadari, dengan rendah hati, keterbatasannya pada satu sisi, pada sisi yang lain saling memperkaya kebenaran, nah sayangnya ini tidak terjadi.
“Kita semua ini adalah musafir pencari kebenaran, dan kemusafiran kita ini ibarat ada dalam perjalanan yang tidak pernah selesai sampai kapanpun”, demikian tutur Bambang Subandrijo.
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...