Otoritas Si Lampu Merah
Waktu-Nya yang berharga lebih banyak terbuang untuk kita.
SATUHARAPAN.COM – Ketika memulai aktivitas di jalan raya biasanya kita akan bertemu lampu merah. Kita pun secara sadar menaatinya. Dia tidak perlu meniupkan peluit untuk mengatur pengendara. Dia cukup mengeluarkan cahaya warna lampu berbeda.
Si Lampu Merah ini mempunyai otoritas dalam mengatur. Setiap pengendara harus turut dan taat padanya kalau mau perjalanannya lancar atau agar tidak terjebak dalam kemacetan yang tak perlu.
Mungkin yang menyebalkan adalah ketika hendak mengejar waktu ke suatu tempat, Si Lampu Merah memancarkan warna merah. Rasanya ingin menerobos selama tidak ada polisi atau kendaraan dari arah lain.
Nah, ketika lampu berubah menjadi kuning, semua kendaraan bersiap mengejar waktu yang terbuang karena warna merah tadi. Saat lampu berwarna hijau, semua kendaraan pun melesat, tak peduli dengan sekitarnya. Semua mementingkan dirinya sendiri.
Yang terpenting, aku bisa melanjutkan perjalananku. Yang terpenting aku bisa mencapai tujuan tepat waktu. Yang terpenting aku bisa pindah dari lampu merah ini. Dan masih banyak alasan untuk kata ”terpenting” lainnya. Yang terpenting aku, bukan mereka. Yang terpenting, waktuku bukan waktu mereka. Dan yang pasti, aku yang lebih PENTING, daripada mereka atau siapa pun.
Jangan-jangan, hal ini pula yang kita lakukan kepada Tuhan? Yang terpenting waktuku, bukan waktu Tuhan. Yang terpenting tujuan hidupku yang menurutku benar, yang terjadi. Tujuan Tuhan? Akan kulakukan, jika Tuhan mengikuti planning yang telah ku uat. Jika tidak? Mungkin Tuhan bisa meminta yang lain. Yang terpenting aku bisa meninggalkan ketidaknyamanan yang membuatku frustasi. Waktuku, bukan waktu Tuhan. Caraku, bukan cara Tuhan. Keinginanku, bukan keinginan Tuhan. Aku lebih tahu apa yang menjadi keinginanku ketimbang Dia.
Untuk apa aku menanti? Jikalau semua bisa kulakukan dengan cepat? Menanti? sesuatu yang sangat membosankan dan hanya membuang waktu.
Tetapi, sebenarnya tidak selamanya lampu merah menyebalkan. Memang, masa-masa berhenti dan menanti terkadang tidak menyenangkan. Namun, tidak bisa dipungkiri, di masa inilah terkadang bisa membuat kita berpikir dan melihat sekitar. Terutama melihat kedalaman hati dan hidup kita.
Mungkin kecenderungan kita hanya fokus pada tujuan akhir kita, bukan tujuan besar Tuhan. Yang akhirnya membuat kita sulit dalam menanti. Menanti waktu Tuhan, menanti kehendak Tuhan, dan menanti dalam ketidakjelasan. Sejatinya ada kalanya Tuhan menyuruh kita diam. Diam dan mendengarkan Dia berkata-kata melalui firmanNya.
Dunia mengajarkan tentang waktu yang tidak akan pernah bisa kembali. Karena itu, jangan pernah disia-siakan hanya untuk menanti. Gunakan waktu yang ada dengan maksimal. Walau demikian, ada kalanya Tuhan memberikan waktu di mana kita harus menanti, dan akhirnya belajar dari setiap proses yang harus kita lalui.
Pada akhirnya, jikalau di jalan raya saja kita tahu betul bahwa lampu merah memiliki otoritas dalam mengatur pengendara, juga pejalan kaki; masakan kita tidak mau mengakui bahwa Tuhan lebih memiliki ototritas dalam mengatur kehidupan kita? Lampu merah ada untuk menjaga pengguna jalanan. Lalu Tuhan? Dia ada hanya untuk mengasihi kita.
Cinta-Nya kepada lebih dari besarnya harta yang kita miliki. Waktu-Nya yang berharga lebih banyak terbuang dari waktu yang kita yang terbuang untuk duduk diam mendengarkan-Nya!
Selamat Hari Minggu!
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...