"Pahlawan Hotel Rwanda" Diadili dengan Dakwaan Terorisme
KIGALI, SATUHARAPAN.COM-Paul Rusesabagina, yang digambarkan sebagai pahlawan dalam film Hollywood tentang genosida Rwanda pada tahun 1994, menghadapi 13 dakwaan, dan menuntut diizinkan untuk membela setiap dakwaan terpisah dalam kasus yang juga menjadi sorotan terhadap Pemerintahan Presiden Rwanda, Paul Kagame.
Rusesabagina, yang pernah menyerukan perlawanan bersenjata kepada pemerintah dalam video YouTube, muncul di pengadilan Kigali dengan dakwaan termasuk terorisme, terlibat dalam pembunuhan, dan membentuk atau bergabung dengan kelompok bersenjata tidak teratur.
Pengadilannya menjanjikan akan menjadi yang paling terkenal dalam serangkaian kasus terhadap lawan Kagame. Dia diadili dengan tangan diborgol dan dibawa dalam sebuah van bertuliskan "RIB" untuk Biro Investigasi Rwanda, hari Senin (14/9). Rusesabagina yang berusia 66 tahun itu mengenakan setelan kulit cokelat dan masker anti virus corona.
Dia mengatakan kepada pengadilan bahwa dia telah menyumbangkan 20.000 euro (US$ 24.000) untuk Front Pembebasan Nasional (FLN), sayap militer Mouvement Rwandais pour le Changement Démocratique, yang dia pimpin bersama.
"FLN membunuh orang," katanya. "Jika ada perbuatan buruk yang dilakukan terhadap masyarakat, saya menyesal dan meminta maaf kepada keluarga korban." Rusesabagina menolak untuk mengajukan pembelaan atas tuduhan apa pun. Dia dijadwalkan muncul lagi pada hari Kamis (17/9) untuk mengajukan jaminan.
Film Hollywood
Film nominasi Oscar "Hotel Rwanda" menggambarkan Rusesabagina, seorang mantan manajer hotel, menggunakan hubungannya dengan elite Hutu untuk melindungi orang Tutsi yang melarikan diri dari pembantaian.
Setelah genosida, Rusesabagina memperoleh kewarganegaraan Belgia dan menjadi penduduk Amerika Serikat. Dia menjadi kritikus vokal Kagame, yang dia tuduh membungkam oposisi, sebuah tuduhan yang dibantah pemerintah.
Rusesabagina belum diizinkan untuk bertemu dengan pengacara yang ditunjuk oleh keluarganya, kata mereka dalam sebuah pernyataan. Namun salah satu pengacaranya yang ditunjuk oleh pemerintah, David Rugaza, menyatakan bahwa dia diadili karena menggunakan kebebasan berbicara.
"Dia mendapat kewarganegaraan Belgia pada tahun 1999," kata Rugaza pada sidang. "Rwanda sedang mengadili warga negara asing (untuk) kebebasan berekspresi yang dia nikmati saat berada di luar negeri."
Beberapa orang di Rwanda, termasuk Kagame, menuduh Rusesabagina melebih-lebihkan kepahlawanannya, yang ia bantah.
Masih belum jelas bagaimana Rusesabagina muncul di Rwanda. Keluarganya mengatakan dia menghilang dari Dubai.
Pengadilan mengajukan keberatan pembelaan bahwa penangkapan itu tidak biasa, memutuskan bahwa ia memiliki yurisdiksi, karena Rusesabagina ditangkap di wilayah Rwanda, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Tekanan terhadap Oposisi
Kagame telah memerintah Rwanda sejak akhir genosida dan memenangkan pemilihan terakhir (tahun 2017) dengan hampir 99% suara.
Dia menikmati dukungan luas, dan bantuan donor Barat untuk memulihkan stabilitas Rwanda, memberantas korupsi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara Afrika Timur berpenduduk 12 juta itu.
Namun kelompok hak asasi internasional dan lawan politik mengatakan pemerintahannya semakin ternoda oleh penindasan. "Kagame dan pejabat pemerintah lainnya secara teratur mengancam mereka yang mengkritik pemerintah," kata Human Rights Watch (HRW) dalam catatan pengarahannya, menambahkan bahwa pengadilan tidak memiliki kebebasan dan penyiksaan terhadap tahanan adalah hal biasa.
Pemerintah membantah tuduhan adanya penyiksaan terhadap tahanan. Tibor Nagy, Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk Afrika, men-tweet awal bulan ini bahwa AS ingin agar Rusesabagina menerima "pengadilan yang adil".
Michaela Wrong, seorang penulis Inggris yang meneliti dan menulis sebuah buku tentang politik Rwanda, mengatakan persidangan tersebut telah menempatkan pemerintah Kagame di bawah pengawasan yang lebih ketat.
"Para pendukung tradisional pemerintah Rwanda mungkin akan mulai bertanya pada diri sendiri mengapa begitu banyak aktivis oposisi menghilang dan berakhir dengan kekerasan di Rwanda, mengapa begitu banyak aktivis hak asasi manusia dan jurnalis melarikan diri ke luar negeri," katanya. (Reuters)
Editor : Sabar Subekti
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...