PAK HAM Kritik Jakarta Tak Berani Dialog dengan OPM
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM - Perhimpunan Advokasi Kebijakan Hak Asasi Manusia (PAK HAM) Papua mempertanyakan keengganan bahkan ketakutan pemerintah membuka ruang dialog dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Padahal PAK HAM menilai dialog itu perlu untuk mendengar aspirasi mereka.
"Pemerintah pernah melakukan dialog dengan Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 2001 silam, tapi mengapa tidak mau atau tidak berani membuka ruang dialog dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM)?," tulis Direktur Eksekutif PAK HAM, Matius Murib, lewat situs resmi organisasi tersebut.
Ia mengatakan dialog terbuka dan damai sangat perlu dilakukan bersama OPM. Pemerintah perlu mendengar aspirasi dan pendapat mereka yang juga merupakan warga negara Indonesia.
"Begitu dialog usai, belum tentu Papua akan lepas dari wilayah NKRI," kata Matius Murib.
Matius Murib memperkirakan ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi saat dialog dibuka. Di antaranya, klarifikasi sejarah kekejaman massa lalu dan rekonsiliasi. Selain itu kemungkinan pemulihan relasi dengan menata kembali sistem kekuasaan negara yaitu dengan merekonstruksi ulang kebijakan khusus bagi tanah Papua sesuai dengan amanat UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus Papua.
Menurut Matius Murib, negara seharusnya hadir melalui pendekatan kemanusiaan dengan menjunjung tinggi nilai universal hak asasi manusia di tengah konflik ideologi politik Papua merdeka.
Dia juga mengharapkan pemerintah mau mengajak pihak ketiga dalam mediasi dialog secara damai, bukan kekerasan dilawan dengan kekerasan seperti yang berlangsung selama ini, termasuk kontak senjata di Tembagapura saat ini.
"Justru operasi TNI dan Polri memperkuat eksistensi OPM dan berpotensi menambah korban baru," kata Matius Murib.
PAK HAM Papua meyakini dialog damai antara Pemerintah Indonesia dan OPM sangat penting dan perlu untuk segera digelar. Tim LIPI dan Jaring Damai Papua (JDP), serta sejumlah LSM HAM, juga tokoh masyarakat Papua, kata dia, bisa diajak sebagai negosiator dalam perundingan ini.
Di bagian lain pernyataannya, Matius Murib menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia melalui Menkopolhukamnya sangat beralasan untuk menindaklanjuti kebijakan “upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat massa lalu di tanah Papua” yang dijanjikan akan dituntaskan sejak tahun 2016. Realitasnya belum juga satu kasus pun yang tuntas diselesaikan hingga saat ini.
Ia mengatakan harus diakui bersama bahwa akar permasalahan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tanah Papua dikarenakan ideologi politik Papua Merdeka dan ekonomi yang melimpah ruah.
"Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo harus berani dan tegas untuk berbicara mengenai permasalahan HAM di Papua agar tidak menjadi beban moral bangsa Indonesia dari waktu ke waktu," kata Matius.
Bangsa Indonesia, kata Matius, seharusnya mewariskan nilai kebenaran sejarah yang baik untuk ditiru dan diteladani generasi muda, bukan malahan mewariskan pengalaman traumatis, rasa benci dan perilaku brutal juga kejam serta tidak manusiawi seperti yang terjadi hingga saat ini.
Editor : Eben E. Siadari
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...