Pakai Isu SARA dalam Pilkada? Ketinggalan Zaman!
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Brigjen Polisi Kadiv Humas Mabes Polri, Boy Rafli Amar, mengajak seluruh masyarakat dalam melaksanakan kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2017 tidak menghalalkan segala cara, termasuk menggunakan isu sektarian atau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di dalam masa kampanye.
“SARA merupakan kekayaan bangsa yang harusnya sebagai potensi positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menggunakan isu SARA dalam Pilkada itu ketinggalan zaman. Jangan sampai ada black campaign dalam Pilkada kita,” ujar Boy dalam Diskusi Publik dari Rangkaian Aksi Rumah 98, hari Selasa (1/11) siang, di Jakarta Pusat.
Masyarakat, disebutkan oleh Boy, pasti mengalami pengelompokan terkait calon yang diusung, tetapi hal itu tidak sepatutnya menjadi hal yang dapat memecah kehidupan berdemokrasi Tanah Air. Boy berharap dalam proses Pilkada serentak ini pada akhirnya mampu melahirkan pemimpin yang diinginkan masyarakat tanpa adanya anarkisme.
“Tidak boleh ada kekerasan dan pelanggaran hukum. Peran dari elite politik, media, dan sosial media adalah untuk mengedukasi masyarakat mengenai politik yang berkualitas dengan tidak mengaitkan dengan isu-isu SARA,” katanya.
Sejalan dengan itu, perwakilan dari Gerakan Rumah 98, Bernard Haloho, menyatakan spirit dari suasana kondusif dalam menghadapi kontestasi Pilkada, khususnya di DKI Jakarta, sangat diperlukan.
“Publik DKI tengah disuguhi isu yang masif dan sistemik mengenai isu SARA, tetapi dengan masyarakat yang cerdas maka itu tidak akan produktif. Negara tidak boleh gagal dan diseret ke ujung jurang kehancuran dengan hal seperti itu. Pro dan kontra memang tidak bisa dihindarkan, tapi bagaimana kita bersatu padu menciptakan suasana kondusif serta damai,” ujar Bernard.
Perwakilan tim sukses Agus-Syilvi menyatakan adanya hiruk pikuk isu SARA tak boleh menggagalkan fokus dalam mendapatkan pemimpin yang terbaik. “Pilkada DKI jadi barometer Pilkada di Indonesia. Posisi kami hanya fokus memberikan yang terbaik buat warga Jakarta.”
Sedangkan dari perwakilan tim sukses Basuki-Djarot, Imanuel, menyatakan akan bertarung dalam hal gagasan dan mimpi ke depan untuk masyarakat Jakarta yang lebih baik. “Kami tidak akan menggunakan politik melankolis, apalagi memainkan isu sektarian yang jelas-jelas tidak berkualitas. Yang mengusung isu tersebut adalah yang anti terhadap perubahan dan demokrasi. Kita jangan sampai menjadi negara yang gagal dengan mengimpor isu SARA,” katanya.
Menanggapi aksi demo yang akan terjadi tanggal 4 November, perwakilan tim sukses Anies-Sandiaga, Syarif, menyatakan tak berkeberatan karena hal itu merupakan hak berekspresi yang harus dihargai. Namun, ia berharap tak ada sikap anarkisme, karena dari masing-masing pasangan calon telah berikrar untuk berkampanye secara damai.
“Isu SARA yang memuat ujaran kebencian dengan mengapitalisasi agama adalah hal yang tidak bisa dibenarkan. Jika semua elemen netral dan sesuai tupoksi dalam menjalani aturan dan regulasi pasti isu SARA akan menjadi nonsense.”
Pengamat politik, Ray Rangkuti, dalam kesempatan itu juga menegaskan bahwa aksi tanggal 4 November merupakan hal yang berada di luar Pilkada sehingga tidak perlu digunakan sebagai ajang saling menjatuhkan.
“Aksi 4 November ada di luar Pilkada itu sendiri, jadi tidak perlu menjadi hal yang negatif,” tuturnya.
Organisasi-organisasi massa Islam berencana melakukan unjuk rasa di beberapa titik di Ibu Kota, termasuk Balai Kota DKI Jakarta, Istana Presiden, dan Monumen Nasional pada tanggal 4 November 2016. Mereka mendesak penegak hukum segera menuntaskan proses hukum perkara tuduhan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...