Pakar BPPT Sempurnakan Teknologi Peringatan Dini Bencana
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ikatan Ahli Bencana Indonesia sekaligus pakar Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memprediksi Indonesia akan diguyur hujan dengan intensitas tinggi hingga awal tahun depan.
Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca BPPT, Tri Handoko Seto, pada Kamis (23/6), seperti diberitakan voaindonesia.com, mengatakan perubahan iklim dan cuaca ekstrem yang terjadi saat ini disebabkan anomali pertumbuhan awan dunia dan anomali suhu muka laut yang disebut fenomena La Nina. “Sejak tiga bulan lalu fenomena ini sudah jelas, perlu kita siapkan langkah cepat periodisitas El Nino dan La Nina saat ini semakin cepat, dua tahun sekali. La Nina tahun ini akan terjadi hingga awal tahun depan. Mulai Oktober wilayah Indonesia mengalami intensitas curah hujan tinggi. Kami akan membuat sistem peringatan dini yang lebih cepat dan akurat," kata Tri Handoko.
Untuk itu BPPT, terus mengupayakan menyempurnakan inovasi alat peringatan dini atau early warning system (EWS), untuk bencana tanah longsor, yaitu teknologi landslide EWS (LEWS). Landslide EWS (LEWS), menggunakan sensor kelembaban tanah (soil moisture), inclinometer (unit instrumentasi geoteknik, digunakan mengukur pergerakan horisontal lapisan tanah/batuan), accelerometer (perangkat yang berfungsi untuk mengukur percepatan dengan tepat), serta penakar hujan. Teknologi ini dapat digunakan untuk memberikan peringatan dini kepada masyarakat sebelum terjadi bencana longsor.
Kepala Bidang Mitigasi Bencana BPPT dan juga pakar kebencanaan Dr Udrekh MSc, mengatakan seperti kebanyakan peralatan bencana lainnya, LEWS harus memiliki kriteria tinggi agar dapat berfungsi dalam kondisi cuaca apa pun.
“Teknologinya sudah dapat dikuasai bangsa Indonesia, tetapi knowledge-nya agar berfungsi secara tepat masih terus dikaji. Warning yang keluar akan berbeda threshold-nya satu sama lain. Karena itu upaya penyempurnaan agar teknologi ini dapat memberikan peringatan secara tepat membutuhkan pengamatan di lapangan,” kata perekayasa Pusat Teknologi Reduksi dan Risiko Bencana (PTRRB BPPT) melalui pesan singkatnya di Jakarta, (21/6), yang dilansir dari situs bppt.go.id.
Cara kerjanya, kata Udrekh, dengan memanfaatkan parameter yang diukur. Besarnya curah hujan yang diukur dari penakar hujan, merupakan indikasi awal adanya ancaman. Jika curah hujan mencapai sebuah nilai ambang yang sudah dientukan, alat akan memberikan peringatan dini. Apalagi jika sensor kelembaban tanah juga menunjukkan nilai kelembaban melebihi batas ambang, akan ada peringatan untuk evakuasi. Dua sensor lain, pada umumya akan bekerja saat sudah mulai terjadi gerakan tanah.
Saat ini dalam pengembangan LEWS, BPPT terus bersinergi dengan ITB dan LIPI. “Saat ini LEWS sinergi baru dimanfaatkan oleh BNPB di Kabupaten Majalengka, Tasikmalaya, dan Garut. Itu juga hanya tujuh titik. Padahal daerah rawan longsor di Indonesia terbilang banyak,” katanya.
Untuk itu, Udrekh juga berharap peringatan dini longsor atau inovasi LEWS dapat dimanfaatkan lebih luas, sedangkan untuk pemetaan potensi bencana dan iklim cuaca di berbagai daerah akan segera disusun, untuk mengurangi potensi terjadinya bencana alam yang menelan korban jiwa.
Data Ikatan Ahli Bencana Indonesia atau IABI, memaparkan global warming menjadi penyebab utama terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrem saat ini. Intensitas perubahan ekstrem dulu tujuh tahun, semakin cepat lima tahun, hingga tiga tahun sekali.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB merilis 16 kabupaten/kota di Jawa Tengah mengalami bencana banjir dan longsor. Hingga Juni 2016, data BNPB menyatakan telah terjadi 1.053 bencana di Indonesia, 157 orang meninggal, dan 1,7 juta jiwa mengungsi dan ratusan ribu rumah rusak.
Saat ini sejumlah daerah yang mengalami bencana alam di Indonesia mulai memasuki tanggap darurat, antara lain Purworejo di mana tanah longsor menewaskan 47 orang dan 15 lainnya hilang. Di Solo, Jawa Tengah, dan Padang, Sumatera Barat, terjadi banjir sehingga membuat ribuan warga mengungsi.
Tanah longsor di Kebumen menelan korban jiwa dua orang, dan di Pekalongan terjadi banjir rob atau pasang air laut. Bencana banjir bandang, longsor dan pasang air laut juga melanda Sangihe, Sulawesi Utara, mengakibatkan empat orang tertimbun tanah dan 40 rumah rusak.
Meski banjir yang membanjiri rumah 1.000 keluarga di Solo akhir pekan mulai surut, hujan deras hampir empat jam Rabu malam (22/6) membuat rumah warga kembali terendam air. Wali Kota Solo, Hadi Rudyatmo, kembali memperpanjang masa tanggap darurat bencana di Solo.
“Status tanggap darurat bencana banjir di Solo kami perpanjang. Semalam kan banjir terulang lagi di Solo, ya memang tidak separah banjir pekan lalu. Kami perpanjang sampai tujuh hari. Dengan kondisi ini kan kita bisa menyalurkan bantuan untuk warga korban banjir,” kata Hadi Rudyatmo.
Editor : Sotyati
Joe Biden Angkat Isu Sandera AS di Gaza Selama Pertemuan Den...
WASHIGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, mengangkat isu sandera Amerika ya...