Pakar: Ketahanan Budaya Membedakan Negara-negara untuk Keluar dari Krisis Pandemi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Mantan Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Pancasila, Yudi Latif, memaparkan keberhasilan sejumlah negara dalam mengatasi krisis akibat pandemi COVID-19 karena memiliki ketahanan budaya yang kuat, seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang.
"Kita lihat COVID ini, meskipun virusnya sama, tapi dampaknya ke berbagai negara itu beda-beda. Ada negara yang parah banget, ada negara yang cepat recovery. Apa yang membedakan? Coba perhatikan, jarak dari Wuhan (China) itu ke negara-negara Asia Timur begitu dekat, Taiwan survive cepat. Korea pulih cepat, Jepang punya kemampuan begitu cepat," katanya dalam pernyataan secara tertulis, di Jakarta, hari Rabu (8/7).
Yudi mengatakan itu ketika menjadi pembicara webinar bertajuk "Pandemi COVID-19 dalam Perspektif Agama dan Kebudayaan", Selasa malam (7/7), yang diinisiasi DPP Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK).
Tetapi dengan jarak ribuan mil dari Wuhan ke Benua Amerika menyebabkan Amerika Serikat tidak bisa segera keluar dari krisis akibat pandemi COVID-19.
Dia mengatakan negara yang dipimpin Donald Trump itu sampai terseok-seok melawan pandemi COVID-19 hingga saat ini dan belum ada indikasi negara adikuasa tersebut keluar dari krisis, padahal pemerintah sudah melakukan banyak hal untuk keluar dari krisis.
National Dignity
"Satu hal yang bisa kita identifikasi bahwa negara-negara yang punya ketahanan budaya dalam hal national identity dan hal itu membuatnya memiliki kesanggupan untuk menghadapi krisis. Misalnya, Jepang, Korsel, Taiwan, Vietnam, New Zealand (Selandia Baru), Jerman. Negara-negara dengan national identity-nya yang kuat itu mampu mengatasi ancaman krisis secara lebih efektif," katanya.
Yudi menjelaskan psikolog sudah mengatakan bahwa setiap orang berbeda-beda kemampuannya menghadapi krisis, demikian pula negara. "Jadi, kemampuan orang itu termasuk mempunyai moral perfect, kepercayaan diri, punya ketahanan terhadap pressure, kemudian tidak cepat patah. Itu ego-strength yang mempengaruhi orang dalam menghadapi krisis. Ego-strength dalam kedirian kolektif harus bergerak dengan national identity," kata Yudi.
Untuk menghadapi krisis, perlu dibangun identitas nasional yang menjadi kebanggaan bersama, sehingga negara-negara tersebut, termasuk Indonesia dapat melewati berbagai macam tantangan.
"Jadi, negara-negara national dignity, kebanggaan nasional yang kuat itu biasanya jauh lebih memiliki ketahanan menghadapi berbagai cobaan. Kita lihat misalnya Jepang dan Jerman sudah berkali-kali jatuh, berkali-kali dia dihadapkan pada krisis, tapi selalu dia bisa bangkit cepat dan memimpin dunia," kata Yudi.
Pandemi COVID-19 harus dijadikan pelajaran yang cukup berharga untuk memperkuat identitas nasional secara kolektif karena di balik musibah maupun krisis selalu ada pelajaran dan hikmah.
Yudi Latif dalam webinar itu bersama Guru Besar UIN Jakarta Azyumardi Azra, cendekiawan Daniel Dhakidae, dan budayawan Radhar Panca Dahana, dipandu Ketua Umum PGK, Bursah Zarnubi sebagai moderator. (Ant)
Editor : Sabar Subekti
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...