Pakistan Jatuhkan Sanksi Keuangan pada Taliban, Al Qaeda, dan ISIS
ISLAMABAD, SATUHARAPAN.COM-Pakistan mengeluarkan sanksi keuangan besar-besaran terhadap Taliban Afghanistan. Perintah tersebut, yang diumumkan pada hari Jumat (21/8) malam, mengidentifikasi puluhan orang, termasuk kepala negosiator perdamaian Taliban, Abdul Ghani Baradar, dan beberapa anggota keluarga Haqqani, termasuk Sirajuddin, kepala jaringan Haqqani saat ini dan wakil ketua Taliban.
Daftar kelompok yang terkena sanksi termasuk di luar Taliban dan sesuai dengan resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) lima tahun lalu tentang sanksi kepada kelompok Afghanistan dan membekukan aset mereka.
Perintah tersebut dikeluarkan sebagai bagian dari upaya Pakistan untuk menghindari daftar hitam oleh Financial Action Task Force (FATF), yang memantau pencucian uang dan melacak aktivitas kelompok teroris, menurut pejabat keamanan yang berbicara dengan syarat anonim karena mereka tidak berwenang untuk berbicara dengan media.
Tahun lalu, kelompok yang berbasis di Paris itu memasukkan Islamabad ke dalam daftar abu-abu. Hingga saat ini hanya Iran dan Korea Utara yang masuk daftar hitam. Daftar itu sangat membatasi kemampuan pinjaman internasional suatu negara. Pakistan sedang mencoba untuk keluar dari daftar abu-abu, kata para pejabat.
Negosiasi Yang Terhambat
Tidak ada tanggapan langsung dari Taliban, tetapi banyak dari pemimpin kelompok itu diketahui memiliki bisnis dan properti di Pakistan.
Banyak pemimpin Taliban, termasuk mereka yang memimpin jaringan Haqqani yang sangat ditakuti, telah tinggal di Pakistan sejak 1980-an, ketika mereka menjadi bagian dari mujahidin Afghanistan dan sekutu Amerika Serikat untuk mengakhiri invasi 10 tahun ke Afghanistan oleh bekasi Soviet. Persatuan itu berakhir pada Februari 1989.
Pakistan membantah memberikan perlindungan kepada Taliban setelah penggulingan mereka pada tahun 2001 oleh koalisi pimpinan AS, tetapi Washington dan Kabul secara rutin menuduh Islamabad memberi mereka tempat berlindung yang aman.
Hubungan Pakistan dengan Taliban yang akhirnya diusahakan dieksploitasi oleh Washington untuk memajukan negosiasi damai dengan gerakan pemberontak. Amerika menandatangani perjanjian damai dengan Taliban pada 29 Februari. Kesepakatan itu dimaksudkan untuk mengakhiri hampir 20 tahun keterlibatan militer Washington di Afghanistan, dan telah disebut-sebut sebagai harapan terbaik Afghanistan untuk perdamaian setelah lebih dari empat dekade perang.
Tetapi ketika Washington telah mulai menarik tentaranya, upaya untuk memulai pembicaraan antara kepemimpinan politik Kabul dan Taliban telah terhalang oleh penundaan program pembebasan tahanan.
Kedua belah pihak akan membebaskan tahanan, 5.000 oleh pemerintah dan 1.000 oleh Taliban, sebagai isyarat niat baik menjelang pembicaraan. Kedua belah pihak saling menyalahkan atas keterlambatan tersebut.
Waktu keputusan Pakistan untuk mengeluarkan perintah yang menerapkan sanksi pembatasan juga dapat dilihat sebagai langkah untuk menekan Taliban agar segera memulai negosiasi intra Afghanistan.
Sanksi untuk TTP, ISIS dan Al Qaeda
Kabul telah menentang jirga tradisional atau perintah dewan untuk membebaskan Taliban terakhir yang mereka pegang, dan mengatakan pihaknya menginginkan 22 pasukan komando Afghanistan yang ditahan oleh Taliban dibebaskan terlebih dahulu.
Selain Taliban, perintah sanksi itu juga menargetkan Al Qaeda dan afiliasi ISIS yang telah melakukan serangan mematikan di Pakistan dan Afghanistan. Mereka juga membidik kelompok-kelompok terlarang Pakistan seperti Tehreek-e-Taliban Pakistan (TTP), ribuan di antaranya diyakini oleh PBB bersembunyi di daerah terpencil Afghanistan.
TTP telah menyatakan perang terhadap Pakistan, melakukan salah satu serangan teroris terburuk di negara itu pada tahun 2014 yang menewaskan 145 anak dan guru mereka di sekolah umum militer di barat laut Pakistan.
Perintah itu juga ditujukan pada kelompok anti India terlarang yang dianggap bersekutu dengan dinas keamanan negara. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Joe Biden Angkat Isu Sandera AS di Gaza Selama Pertemuan Den...
WASHIGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, mengangkat isu sandera Amerika ya...