Pameran Seni After Mooi Indie #3 “Surau dan Rantau”
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Forum Mahasiswa Minang ISI (Formmisi) Yogyakarta untuk ketiga kalinya menggelar pameran seni After Mooi Indie di Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta. Pameran dibuka oleh Wakil Rektor Bidang III-ISI Yogyakarta Anusapati, mewakili Rektor ISI Yogyakarta, Sabtu (6/4) malam.
Ditemui satuharapan.com saat pembukaan pameran, penanggung jawab acara Alif Lamra menjelaskan pameran tersebut adalah penyelenggaraan yang ketiga kalinya.
“Pertama kali dihelat tahun 2016. Tahun 2017 tidak ada pameran, tapi lebih ditekankan untuk konsilidasi pada penyelenggaraan tahun-tahun berikutnya. Tahun 2018 dan tahun ini kembali digelar After Mooi Indie. Seluruh anggota (Formmisi) diundang untuk mengirimkan karya, tapi diseleksi-kurasi untuk diikutkan pameran sesuai tema yang ditawarkan. Tahun ini mengangkat tajuk 'Surau dan Rantau',” papar Alif Lamra.
Alif Lamra menjelaskan Formmisi merupakan salah satu tempat mahasiswa Minang berproses kreatif secara bersama dengan anggota lintas disiplin seni. Selama pameran diselenggarakan beberapa kegiatan, yakni Pertunjukan Musik, Pertunjukan Tari, Pertunjukan Randai, Diskusi Acara 'After Mooi Indie#3, Workshop, Silek, Performance Tatto Hand Poked, Screening Film Tradisi dan Budaya Minangkabau, dan Diskusi Film.
Lima puluh lima mahasiswa seni rupa ISI asal Minang dan empat alumni Formmisi mempresentasikan karya dua-tiga matra dalam berbagai medium-ukuran di dua lantai Galeri RJ Katamsi.
Tema "Surau dan Rantau" dipilih sebagai upaya melihat kembali bagaimana identitas kultural Minangkabau yang disimbolkan melalui “surau” beradaptasi dengan era globalisasi seperti saat sekarang (rantau) melalui karya seni dari seniman-seniman muda Minangkabau. Kemampuan beradaptasi dan mengadaptasi merupakan salah satu warisan budaya penting bagi masyarakat Minang hingga hari ini.
Kekuatan eksplorasi medium dan eksperimentasi menjadi tawaran menarik bagi seniman mahasiswa Formmisi. Dalam karya berjudul Roller Coaster, monocrhome series, pada sepuluh panel berdiameter 30 cm berbentuk bulat Melta Desyka membuat sulaman tangan (hand embroidery) di atas kanvas dengan benang aneka warna dan objek-objek kecil yang artistik.
Sulaman dan tenun Minang adalah salah satu karya seni kriya khas Nusantara. Sulam tangan dan bordir Minang mudah dikenali dengan warnanya yang lebih dominan warna merah, hijau, dan pink, yang juga mengarah ke warna alam. Dengan teknik sulaman serta pemilihan warna, Melta cukup berhasil mengembalikan ingatan pada kekuatan sulam tangan Minang.
Mengkolaborasikan karya batik tulis dengan bordir dilakukan oleh Suryani Indah Sari dalam karya berjudul Waiting for Dreams. Dalam karya batik berukuran 100 cm x 150 cm, Suryani membuat batik dengan menggabungkan objek burung merak (peacock), serta pola Mega Mendung. Suryani membuat pola polkadot berbentuk lingkaran warna kuning memenuhi kain sebagai isian batik. Dengan latar warna hitam, karya Waiting for Dreams cukup memprovokasi mata untuk mendekat melihat detail karya terlebih ketika Suryani menambahkan bordir di bawahnya.
Eksperimentasi medium dilakukan juga oleh Ilfa Septiani N yang membuat karya lukisan dengan memanfaatkan jalinan benang pada karya berjudul Radiate. Pendaran warna dari arah dalam karya yang dipancarkan dari lampu membuat citraan warna-warni dalam bingkai lampu kotak (box lamp). Sebagai sebuah karya seni, Radiate menjadi karya yang multifungsi: hiasan sekaligus lampu dinding. Karya-karya dengan kekuatan tangan (craftmanship) hari-hari ini semakin mendapatkan tempat di masyarakat yang akan menjadi karya seni penting di masa datang.
Pada karya berjudul In Composition, Gunhadi mereka ulang karya bergaya Piet Mondrian dalam medium kanvas dan plywood. Menarik ketika Gunhadi menggantikan warna solid merah dengan eksplorasi goresan abstrak warna yang sama.
Jhoni Saputra dengan karya The Unfinished Fragments mencoba menawarkan sebuah konsep desain interior dengan mendekonstruksi karya-karya dua matra ke dalam bingkai-bingkai yang tidak utuh. The Unfinished Fragments tetap menarik sebagai karya yang berdiri sendiri maupun sebagai sebuah kesatuan karya, terlebih ketika Jhoni menambahkan backlight pada beberapa panel karyanya.
Eksperimen dengan sentuhan pendekatan penelitian dilakukan Ricky Qaliby dalam karya berjudul Ekstremis. Pada karya tersebut Qaliby membuat karya dengan basis fotografi. Sebagai objek karya fotografi, Qaliby mencampurkan sperma manusia dengan lem G yang disimpan selama satu tahun yang dipotret secara mikroskopik dengan menggunakan kamera digital (DSLR). Untuk menangkap dramatika yang terjadi, Qaliby menambahkan akrilik warna merah di depan hasil cetak karya foto mengungkapkan keresahannya atas kemanusiaan hari-hari ini yang dirasakan semakin ekstrem. Seekstrem itukah problem kemanusiaan hari ini hingga Qaliby perlu membekukan sperma sebagai salah satu sumber kehidupan pada lem G? Menarik untuk dikaji dalam berbagai perspektif.
“Galeri RJ Katamsi memberikan apresiasi berbagai produk penciptaan dan pengetahuan yang dipresentasikan oleh seniman-perupa, salah satunya Formmisi Yogyakarta dalam beberapa hari perhelatan pameran,” Kepala Galeri RJ Katamsi I Gede Arya Sucitra menjelaskan kepada satuharapan.com.
Dengan adanya pameran tersebut Arya Sucitra berharap mahasiswa Forum Mahasiswa Minang ISI Yogyakarta dapat mengeksplorasi kekaryaan dengan bingkai kurasi yang telah digagas serta sensibilitas isu-isu secara visual dan akademik, sehingga dapat membangun pembelajaran bersama.
Pameran seni After Mooi Indie #3 dengan tema “Surau dan Rantau” digelar di Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta 6-20 April 2019.
Editor : Sotyati
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...