Pameran Titi Mangsa: Membaca Artefak Media Massa Hari Ini
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sebuah koran bekas lusuh dengan judul tajuk "Sum Kuning pengin djadi Wartawan". Berita tersebut terpampang pada halaman depan lampiran harian Kedaulatan Rakyat pada lembaran tengah bulanan untuk wanita edisi 25 Desember 1970. Trauma yang dialami Sum Kuning membuat dirinya tidak mau lagi berjualan telor.
Hingga saat ini kasus Sum Kuning yang terjadi pada 21 September 1970 dianggap masih menjadi misteri mengingat pelaku perkosaan pada penjual telor Sumaridjem atau lebih dikenal dengan nama Sum Kuning tidak pernah terungkap karena diduga melibatkan anak pejabat/tokoh masyarakat. Sum diperkosa setelah sebelumnya "diculik" segerombolan orang dengan menggunakan mobil saat dia pulang dari berjualan telor sore hari menjelang maghrib. Setelah dibawa berputar-putar dan dibius, Sum diperkosa dan dibuang di pinggir jalan Wates di daerah Gamping. Seluruh hasil penjualan ikut dirampas. Berbekal informasi kejadian, sesungguhnya bukan hal sulit untuk mengembangkan pengungkapan kasus tersebut mengingat pada masa itu bisa dihitung jari jumlah pemilik mobil di Yogyakarta.
Lembaran tengah harian Kedaulatan Rakyat tersebut dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta bersama majalah-koran bekas milik beberapa kolektor Yan Arista, Haris Kertorahardjo, Agus, Hartono, Hermanu, Weza, dan pelukis Nasirun.
Koran "Bintang-Barat" edisi 32, yang terbit pada Sabtu 22 April 1871 serta edisi 35, Rabu 3 Mei 1871 yang menjadi koleksi kolektor benda seni Yan Arista menjadi koran tertua yang dipamerkan. "Bintang-Barat" sendiri ketika itu hanya diterbitkan pada hari Rabu dan Sabtu dengan tulisan Kaloear di Betawi Saban Sari Rebodan Saptoe di bawah tulisan Bintang-Barat.
"Beberapa majalah-koran lama masih saya koleksi diantaranya masa-masa revolusi kemerdekaan RI hingga menjelang pemilu pertama kali tahun 1955. Sebagian ada yang saya lepas karena kawan-kawan ingin mengoleksinya. Sebagian lagi yang memiliki kisah/sejarah yang cukup penting saya hibahkan kepada yang bisa merawat agar koran-majalah kuno tersebut terjaga dengan baik," jelas Yan Arista kepada satuharapan.com.
Desain dan tata letak sederhana, kualitas cetak masih mengandalkan teknologi yang tidak dalam pencetakan masa itu yang lebih banyak menggunakan hand press serta beberapa menggunakan cetak dalam (etsa) untuk penerbitan koran yang memiliki modal cukup kuat.
Di luar negeri sendiri mencetak dengan mesin offsett telah berkembang sekitar tahun 1930-an. Selembar koran yang merayakan 50 tahun bertahtanya Ratu Wilhemina Belanda dicetak pada tahun 1948 telah menggunakan teknologi tersebut.
"Ini koran dicetak dengan menggunakan mesin offset. Sudah bisa mencetak raster namun masih belum sampai pada full color. Warna yang dihasilkan masih pola-pola blok yang dihasilkan dari cetak monotone-duplex," kata kolektor majalah-koran kuno Hartono kepada satuharapan.com memberikan penjelasan tentang koran perayaan Ratu Wilhemina saat pembukaan pameran "Titi Mangsa", Selasa (3/7) malam.
Lebih lanjut Hartono menjelaskan bahwa koran dicetak berwarna bisa ditelusuri dari perkembangan fotografi. Foto berwarna mulai dikembangkan pada awal tahun 1970-an.
Senada dengan Hartono, pengelola Bentara Budaya Yogyakarta Yunanto Sutyastomo menjelaskan bahwa Kompas pertama kali mencetak koran berwarna sekitar pertengahan tahun 1970-an.
"Saat itu (cetak warna) untuk keperluan Kompas Minggu. Untuk Kompas terbitan harian masih dicetak hitam putih. Baru tahun 1980-an ketika mesin cetak fullcolor dengan teknologi sparasi harganya terjangkau, Kompas mulai mencetak hariannya fullcolor ," jelas Yunanto. Lebih lanjut Anto menjelaskan bahwa meskipun edisi cetakan asli didokumentasikan dan dirawat, seluruh edisi Kompas telah diarsipkan secara digital.
Dalam pameran Titi Mangsa turut pula dipamerkan Kompas edisi 1 tahun I, Senin 28 Juni 1965 dengan tajuk utama persiapan Konferensi Asia Afrika II. Pada halaman pertama terdapat foto Presiden RI Soekarno dan Perdana Menteri J. Leimena dan di halaman belakang dua foto Henry Pu Yi yang kesemuanya digambar ulang secara manual.
Menariknya sebelum kemerdekaan Republik Indonesia sudah banyak koran-koran daerah yang diterbitkan seperti Djokja Bode, Bintang Batak, Soeara Semarang, Boedi Oetomo, Soeara Kalimantan yang lebih banyak mengangkat tentang permasalahan sosial-budaya setempat.
Majalah pun tidak kalah banyaknya yang terbit pada masa itu diantaranya Monalisa, Mingguan Tjermin, majadalah dewasa Roman Kentjana, Mesra, Variasari, Kawanku, Kuntjung Istimewa, Panjebar Semangat, hingga Pandji Masyarakat.
Semua koran dan majalah yang dipamerkan terbit sebelum 17 Agustus 1972, di mana waktu itu masih menggunakan ejaan lama. Hal ini untuk membatasi koran dan majalah yang akan kami pamerkan karena koran dan majalah yang terbit di Indonesia ini luar biasa banyaknya.
Melihat koran-majalah kuno yang telah terbit di Indonesia sejak tahun 1866 dipajang dengan kualitas (cetakan, kertas) yang bisa dibilang masih cukup terawat, mungkin tidak terbayang bahwa perjalanan media massa begitu cepat berubah dalam banyak hal mulai dari platform, penyajian (tata letak), hingga substansi berita-artikel ketika teknologi informasi telah mengubah cara pandang terhadap berita. Arus informasi yang begitu cepat ketika dunia terhubung dalam hitungan detik tanpa dibatasi oleh wilayah administrasi-geografis negara kerap "memaksa" penyaji berita memberikan informasi secara instan.
"(Begitu cepatnya tuntutan untuk menyajikan informasi ke dunia dalam jaringan/online) ada yang hilang dalam dunia jurnalistik akhir-akhir ini, Informasi ataupun berita kerap tersaji tanpa adanya deep analysis. Ini yang akhir-akhir ini seolah hilang di media massa ketika terhubung dalam jaringan internet yang hampir-hampir tanpa batas," kritik budayawan Sindhunata pada sambutan pembukaan pameran "Titi Mangsa", Selasa (3/7) malam atas fenomena media massa dalam jaringan (online) yang kerap menyajikan berita-informasi instan hanya untuk mengejar kecepatan pubblikasi di dunia maya.
Membaca media massa edisi cetak di era digital seolah kita sedang disajikan sebuah artefak perjalanan media massa dari waktu ke waktu. Ada cerita, drama, tragedi, suka-duka, yang terekam di balik selembar koran-majalah bekas. Ada banyak dialektika yang berbicara mulai dari yang sekedar tertulis di atas kertas, hingga perkembangan teknologi cetak manual-digital yang mengantarkan pada cara pandang yang berbeda atas produk jurnalistik dari masa ke masa. Membaca media massa cetak (koran-majalah) kuno bukanlah sekedar merawat benda memorabilia. Dan mengenang bukanlah membeku di masa lalu, namun adalah upaya untuk memperjuangkan masa depan.
Pameran "Titi Mangsa" akan berlangsung sampai tanggal 11 Juli 2018 di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No. 2 Yogyakarta.
Banjarmasin Gelar Festival Budaya Minangkabau
BANJARMASIN, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan memberikan dukungan p...