Pandemi COVID-19 Berakibat pada Kesejahteraan Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pandemi COVID-19 berdampak pada turunnya kesejahteraan anak-anak di Indonesia. Hal ini disebutkan UNICEF Indonesia dalam penelitiannya tentang dampak nonkesehatan COVID-19 bagi anak-anak.
Upaya pemerintah dalam pengendalian paparan COVID-19 lewat pengurangan aktivitas sosial ternyata berakibat lain. Dimulai berkala dengan meliburkan sekolah dan membuat aturan belajar di rumah, lalu bekerja dari rumah, dan kemudian membuat aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Spesialis Kebijakan Sosial UNICEF, Angga Dwi Matra, mengatakan dampak COVID-19 ke anak-anak memang tak besar secara kesehatan. Namun, anak-anak juga menanggung dampak lain, yaitu dampak sosial dan ekonomi. Menurut hasil penelitian UNICEF, pemberlakuan PSBB berdampak besar pada penghasilan pekerja sektor informal. Padahal pekerja ini juga memiliki keluarga. Turunnya penghasilan kepala keluarga memberi pengaruh langsung pada kesejahteraan anak.
Anak-anak Tertimpa Tiga Krisis
"Ada tiga krisis yang terjadi terkait kondisi tersebut. Pertama adalah krisis kemiskinan anak, kedua adalah krisis gizi, dan ketiga adalah krisis pembelajaran," ujar Angga dalam diskusi daring Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan UNICEF, "Dampak Sosial Ekonomi COVID-19 pada Anak-Anak di Indonesia", seperti rilis yang diterima.
Angga menuturkan saat ini hanya 52 juta penduduk di Indonesia yang bisa dianggap memiliki pendapatan yang aman. Sementara sebagian besar dari 115 juta penduduk Indonesia yang diklasifikasikan sebagai calon kelas menengah, dalam situasi sangat rentan.
PSBB yang sedang diberlakukan membuat calon kelas menengah kehilangan penghasilan. Kehilangan pendapatan rumah tangga yang terjadi secara tiba-tiba menimbulkan ketidakstabilan situasi ekonomi keluarga dan dapat berujung pada kemiskinan.
Angga, mengutip proyeksi Bappenas, mengatakan kemungkinan penduduk Indonesia jatuh miskin naik menjadi 55 persen. Dengan sekitar 27 persen calon kelas menengah diperkirakan mengalami ketidakamanan pendapatan yang menghawatirkan.
Keluarga dan anak-anak yang jatuh miskin dalam waktu singkat akan mengalami dampak berat dalam hal keamanan pangan rumah tangga dan keterbatasan terkait akses, ketersediaan, dan keterjangkauan bahan makanan sehat. Survei daring menunjukkan bahwa kebutuhan pangan semakin tidak aman.
“Sebanyak 36 persen responden menyatakan bahwa mereka sering kali mengurangi porsi makan karena masalah keuangan," tambah Angga .
Krisis lain yang dihadapi adalah krisis pembelajaran. Saat ini, lebih dari 120 negara telah memberlakukan pembatasan interaksi sosial melalui penutupan sekolah yang berdampak pada jutaan siswa di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menerapkan belajar dari rumah sejak Maret lalu.
Penutupan sekolah dapat memperburuk kesenjangan akses pendidikan. Siswa miskin dan rentan merupakan pihak paling terdampak oleh penutupan sekolah. Pendidikan mungkin tidak menjadi prioritas utama, karena sering kali harus bersusah payah memenuhi kebutuhan dasar.
"Lamanya waktu belajar yang hilang dapat membuat banyak siswa sulit menguasai pengetahuan dan kemampuan sesuai tingkatan kelas yang diharapkan. Situasi ini dapat menimbulkan risiko terhadap pembangunan sosial dan ekonomi Indonesia. Jumlah anak yang putus sekolah juga dapat meningkat akibat kesulitan yang dihadapi anak dan remaja untuk kembali dan tetap bersekolah setelah penutupan sekolah dan kontraksi ekonomi yang berlangsung dalam waktu lama," ujarnya menjelaskan.
Kondisi ini juga memberi dampak pada anak-anak penyandang disabilitas. Anak-anak penyandang disabilitas secara khusus sulit belajar dari jarak jauh dengan efektif karena sering kali memerlukan kontak fisik dan emosional dengan guru serta mengandalkan alat-alat dan terapi khusus agar dapat belajar dengan baik.
PJJ Tidak Efektif
Kondisi krisis pendidikan juga diakui Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti. Retno mengatakan bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak efektif.
PJJ yang saat ini diberlakukan sebagai bagian dari upaya menekan penyebaran COVID-19 memunculkan fakta tentang besarnya kesenjangan pendidikan antara kelompok yang mampu dan tidak mampu.
Akses listrik, internet, dan kemampuan membeli pulsa dan komputer atau ponsel yang layak untuk belajar jarak jauh ternyata sangat tidak memadai. Masih banyak anak yang tak memiliki keleluasaan akses untuk mengikuti pembelajaran secara online. Dampaknya, mereka kehilangan kesempatan untuk mendapat pembelajaran yang layak. Padahal mendapat pendidikan adalah salah satu hak anak yang wajib dipenuhi pemerintah.
Sejak PJJ diberlakukan, KPAI telah menerima ratusan pengaduan terkait beban tugas. Mayoritas pengadu adalah anak-anak usia sekolah menengah. KPAI berkesimpulan, PJJ membuat siswa kelelahan, kurang istirahat, dan stres. Berdasarkan penelitian KPAI yang melibatkan 246 responden utama, 1.700 siswa pembanding, dan 602 guru.
"Selama PJJ, kebanyakan guru hanya memberikan tugas dan menagih. Nyaris tak ada interaksi seperti tanya jawab langsung, atau guru menjelaskan materi. Ini yang memicu anak kelelahan dan kebingungan mengerjakannya. Karena 73,2 persen guru hanya memberikan tugas dan tak ada interaksi. Alasan guru, anak tidak memiliki akses internet yang cukup," ujar Retno.
Retno menyatakan 76,7 persen tidak suka belajar dari rumah. "Anak-anak stress. Mereka berjuang mengerjakan tugas bukan karena suka. Tetapi hanya untuk mengejar nilai," ujarnya.
Problem lain yang muncul dari PJJ adalah akses internet yang mahal dan tak mudah. Hal yang juga dipaparkan UNICEF ini diakui Retno membuat anak-anak kehilangan kesempatan untuk mendapat pendidikan yang layak.
Sebab, ketika penghasilan orang tua turun drastis, kecukupan pangan menjadi tujuan utama. Sementara kebutuhan membeli pulsa internet dan pulsa ponsel tak dianggap sebagai prioritas. Padahal kemudahan akses internet adalah salah satu syarat untuk mengikuti pembelajaran jarak jauh.
KPAI berharap pemerintah tidak hanya memberikan subsidi pangan seperti sembako. Tetapi juga membuka akses internet gratis sehingga anak-anak dapat belajar dengan tenang dan aman.
Dalam diskusi tersebut, kedua narasumber dari KPAI dan UNICEF sepakat bahwa isu ini harus menjadi perhatian pemerintah dan perhatian bersama. Sebab, pendidikan adalah hak dasar anak yang harus dipenuhi oleh negara.
Editor : Sotyati
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...