Panglima: TNI Lahir Sebagian Besar dari Santri dan Ulama
LOMBOK, SATUHARAPAN.COM – Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, berpandangan pondok pesantren adalah lembaga yang mampu mencetak dan mempersiapkan generasi muda yang agamais.
Panglima juga berpendapat, pondok pesantren itu berpengetahuan luas dan berwawasan kebangsaan serta menjadi tempat calon pemimpin-pemimpin bangsa, dan menjadi bagian dari solusi masyarakat bangsa dan negara dalam menyelesaikan permasalahan dengan mengedepankan musyawarah dan mufakat, menjunjung tinggi kearifan lokal, dan tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Kedatangan Panglima TNI beserta rombongan di kompleks Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), disambut oleh Tuan Guru Haji LM Tumudzi Badaruddin selaku pendiri pondok pesantren, Gubernur NTB Zainul Majdi, Wakil PBNU Miftahul Akhyar, para sesepuh dan kiai serta 3.000 santri/nahdliyin Nahdlatul Ulama.
Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo menyampaikan, TNI lahir sebagian besar adalah dari santri dan ulama, yang berjuang merebut kemerdekaan. Bahkan Jenderal Sudirman, yang menjadi Panglima TKR (sekarang TNI) pertama adalah seorang guru dari pondok pesantren di Jawa Tengah.
“Saya datang ke sini adalah untuk mengingatkan prajurit-prajurit saya, bahwa TNI tidak bisa berjuang sendiri dalam mengisi kemerdekaan. Saat ini, tantangan bangsa Indonesia sangat luar biasa dan semakin sulit, maka tidak ada alternatif lain lagi, yaitu solusi yang paling baik adalah kebersamaan antara TNI dan para ulama. Karena, apabila TNI dan ulama serta rakyat bersama-sama, merupakan inti dan pusat kekuatan bangsa Indonesia,” kata Panglima TNI, yang didampingi Kasad Jenderal TNI Mulyono serta beberapa pejabat teras Mabes TNI dan angkatan, saat menghadiri Haul Syeikh Abdul Qadir Jaelani di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu, pada hari Sabtu (2/4).
Dia berpendapat, sistem pertahanan kita adalah sistem pertahanan rakyat semesta. TNI hanya bisa kuat dan profesional apabila bersama-sama dengan rakyat, dan pimpinan rakyat adalah para ulama.
“Inilah yang harus sama-sama kita pelihara terus, sehingga soko guru perjuangan kemerdekaan kita (ulama) yang telah berjuang bersama-sama dan kemudian bisa memelihara kemerdekaan hingga saat ini, termasuk penumpasan G 30 S/PKI pada waktu itu adalah para ulama yang paling depan,” kata dia.
Selain itu, Panglima mengingatkan untuk tetap waspada terhadap pengaruh-pengaruh negatif yang dapat memecah-belah umat, munculnya aliran-aliran sesat, aksi terorisme dan radikalisme, yang dapat merusak citra agama Islam. Menurutnya, pondok pesantren mempunyai makna yang luar biasa untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
“Marilah bersama-sama kita kembangkan komunikasi sesama kita, komunikasi sosial, dengan selalu menebarkan salam, jalin silaturahim, persaudaraan, saling menasihati, berbuat kebajikan, dan mencegah kemungkaran,” kata dia.
Pada akhir sambutannya Panglima mengharapkan kebersamaan dan berjuang bersama-sama untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia, "Tanpa kebersamaan dengan ulama, tidak mungkin saya bisa menjaga dan melaksanakan tugas tersebut."(PR)
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...