Para Perempuan di Dunia Pasar
SATUHARAPAN.COM - Pasar tradisional? Sebagian generasi milenial mungkin agak susah membayangkannya.
Sejak beberapa tahun belakangan, fungsinya banyak ditandingi kalau bukan digantikan pusat-pusat belanja modern yang terang benderang, rapi. Dengan harga pasti, dan bercitra bersih.
Kendati perannya makin surut, pasar tradisional tetap memiliki tempatnya sendiri dalam kehidupan kota. Sebagai pusat belanja berbagai kebutuhan yang didominasi kebutuhan dapur. Biasanya riuh rendah pada jam-jam tertentu. Tak ada kota tanpa pasar yang memancarkan suasana khas: tawar menawar tak berkesudahan.
Salah satu kota yang masih penuh dengan pasar tradisional adalah Yogyakarta.
Yang paling terkenal, tentu saja Pasar Beringharjo. Pasar legendaris itu merupakan salah satu dari 30 pasar tradisional.
Dan ada ribuan pedagang pasar yang menghidupkannya. Yang banyak luput dari perhatian adalah sebagian besar pedagang pasar adalah perempuan.
Paguyuban Pedagang Pasar Kota Yogyakarta memperkirakan di kota Yogyakarta ada 10 ribu lebih pedagang di pasar tradisional. Dari jumlah tersebut, 75 persen adalah pedagang perempuan.
Umi Soeharto, 63 tahun, adalah salah satunya.
Pagi itu Umi Suharto begitu sibuk melayani pembeli di lapaknya di Pasar Demangan Yogyakarta. Sudah sejak 1982, dia berjualan bahan pangan. Seperti minyak goreng, gandum, gula, dan beras.
Di pasar itu Umi Soeharto menjabat sebagai Ketua Paguyuban Pedagang sejak tahun 2008.
“Sejak tahun 2010, (status sebagai ketua paguyuban pasar) diakui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Yogyakarta pada 2010,” ungkapnya tanpa menyembunyikan kebanggaannya.
Pemilihan ketua yang terakhir dilakukan pada 2017 ini. “Semua menulis sendiri-sendiri calonnya,” kata Umi, hari Selasa (14/11).
“Semua berhak jadi Ketua, berhak jadi pengurus. Tetapi saya kembali terpilih menjadi Ketua,” tuturnya dengan tersenyum.
Ada pula Sri Wahyuni. Perempuan berusia 50 tahun ini meneruskan usaha orangtuanya berjualan bahan pangan di Pasar Beringharjo sejak 1988. Dia salah satu Ketua Paguyuban Pasar di Pasar Beringharjo sisi timur. Sejak Juni 2017 ini.
Dan posisinya sebagai ketua paguyuban itu tidak terjadi secara mulus seperti yang dialami Umi Suharto.
Ceritanya, selama ini paguyuban pasar di sana sekadar nama. “Jadi, tidak jalan. Paguyuban itu ada nama, ada ketua, tapi tidak ada kegiatan,” jelasnya.
Lalu karena merasa ada yang bisa diperjuangkan melalui paguyuban, dia pun menggalang para pedagang untuk membentuk paguyuban sendiri.
“Saya berkorban banyak demi untuk membentuk paguyuban. Kesulitannya banyak sekali,” katanya.
Sri berkonflik dengan Ketua Paguyuban sebelumnya. Tetapi akhirnya Sri Wahyuni berhasil membentuk paguyuban pedagang pasar tersendiri sejak Juni 2017.
Bahkan kemudian dia dikukuhkan oleh Paguyuban Pedagang Pasar Kota Yogyakarta dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Yogyakarta DPPKY.
Penghubung Para Pedagang Pasar
Kendati tampak tak terlalu resmi, paguyuban pedagang pasar tradisional diarahkan untuk menjalankan berbagai fungsi. Yang utama adalah menjadi wadah komunikasi antar pedagang.
Sebagai wadah komunikasi, paguyuban banyak berperan untuk urusan anggota yang sakit atau meninggal. Paguyuban juga membantu memberikan rekomendasi ketika ada anggota membutuhkan pinjaman terkait usahanya seperti melalui bank atau koperasi.
Paguyuban juga diandaikan bisa menjadi jembatan penghubung antara pedagang pasar tradisional dengan DPPKY.
Bersama DPPKY, paguyuban menyelanggarakan pertemuan, simulasi kebakaran dan pelbagai pelatihan.
Mereka juga menyelanggarakan Grebeg Pasar. Itu adalah pawai tahunan yang diadakan setiap Oktober untuk mempromosikan pasar tradisional.
Bagaimana dengan merajalelanya copet dan preman? Itu bukan ranah paguyuban, melainkan urusan petugas keamanan dan ketertiban pasar.
Perempuan Pasar di Tengah Dominasi Kepengurusan Laki-laki
Umi dan Sri adalah dua dari 11 perempuan yang menjadi ketua paguyuban pasar di Yogyakarta. Data DPPKY menyebutkan di 30 pasar tradisional di Yogyakarta terdapat 60 paguyuban yang beranggotakan lebih dari 10 ribu pedagang.
Mengapa begitu sedikit perempuan ketua paguyuban pasar, padahal sebagian besar pedagang adalah perempuan?
Ketua Paguyuban Pasar di Pasar Beringharjo sisi timur, Sri Wahyuni menyoroti kesibukan ekstra perempuan sebagai penyebabnya.
”Di paguyuban itu banyak kesibukannya. Perempuan itu, kan selain sibuk bekerja di pasar, juga mengurus keluarga,” katanya. Sementara kebanyakan lelaki pedagang pasar sepertinya tak dibebani atau tak merasa punya keharusan mengurus keseharian keluarga.
“Itu sebabnya tidak banyak perempuan yang tampil menjadi Ketua Paguyuban,” katanya.
Istianto Ari Wibowo, peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gajah Mada (Pustek UGM), menyorot masalah belum jelasnya proses rekruitmen pengurus paguyuban.
”Ketua paguyuban memang rata-rata laki-laki, namun kemungkinan tidak ada maksud untuk diskriminasi,” kata Istianto Ari Wibowo.
“Bisa jadi karena belum ada pertemuan rutin sehingga mekanisme rekruitmen kepengurusan itu belum jalan. Polanya belum jalan. Jadi yang kemarin berlanjut saja. Kalau yang di awal sudah terpilih laki-laki semua, seterusnya ya laki-laki terus yang mengetuai,” jelasnya.
Bagaimana kata pedagang sendiri, yang merupakan para anggota paguyuban?
Wahyuningsih, 37 tahun, adalah penjual jajanan pasar di Pasar Beringharjo Timur. Dia menuturkan lebih suka paguyuban diketuai perempuan. Karena, katanyaia jadi tidak merasa sungkan untuk berbicara atau bertemu. “Kita mau bicara langsung bisa. Bisa bicara langsung. Seperti bicara dengan temannya,” ujarnya.
Wahyuningsih juga menilai paguyuban yang diketuai perempuan lebih cepat bergerak. Contohnya kata dia, ketua perempuan lebih cepat dalam mensosialisasikan suatu informasi, seperti bila ada anggota paguyuban yang sakit atau ada berita duka. Ketua perempuan juga kata Wahyuningsih bergerak lebih luwes.
Hal sebaliknya diungkapkan Jiwan, 34 tahun, lelaki yang berjualan pelbagai jamu dan ramuan tradisional di Pasar Beringharjo Timur.
Ia merasa paguyuban yang diketuai laki-laki lebih santai. Sementara kalau paguyuban diketuai perempuan, dia merasa lebih sungkan untuk berkomunikasi.
Di sisi lain, betapa pun dominannya jumlah perempuan pedagang pasar, yang jumlahnya mencapai ribuan di 30 pasar tradisional Yogyakarta, fasilitas yang merupakan kebutuhan perempuan masih sangat memprihatinkan.
Pasar tradisional di lingkup kota Yogyakarta yang menyediakan ruang menyusui dan tempat penitipan anak sejauh ini hanya Pasar Beringharjo. Sementara di 29 pasar lain belum tersedia.
Memang banyak sekali perempuan yang berdagang di Pasar tradisional yang sudah berusia lanjut, namun terasa janggal bahwa hanya ada satu dari 30 pasar yang memiliki ruang laktasi dan tempat penitipan anak. Sementara tempat ibadah ada di setiap pasar.
Umi Soeharto, ketua Paguyuban Pedagang Pasar Demangan, bercerita para perempuan pedagang setelah punya bayi tidak bisa membawa bayinya ke pasar karena tidak ada ruang menyusui.
“Mungkin susunya dipompa di sini. Terus susunya ditaruh di tas yang di dalamnya ada kulkasnya,” kata dia.
Karena itu, kata Ketua Paguyuban Pasar di Pasar Beringharjo sisi timur, Sri Wahyuni, pedagang perempuan yang baru melahirkan biasanya waktu berdagangnya lebih singkat.
“Mereka datang pukul 5 pagi dan pulang dulu pukul 7 agar bisa menyusui bayinya.”
Istianto Ari Wibowo, peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gajah Mada (Pustek UGM), mengatakan fasilitas seperti ruang laktasi dan penitipan anak yang memadai di pasar-pasar traidional merupakan kebutuhan mutlak yang harus disediakan pemerintah.
”Sejak dulu kami mendorong, jika membangun pasar, di situ harus ada ruang ibu menyusui juga, “ katanya. Namun, ia cemas, “jangan-jangan Pemerintah menganggap hal itu tidak penting."
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...