Paradoks Pemberantasan Korupsi Dinilai Hambat Diskresi Pejabat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai paradoks pemberantasan korupsi menimbulkan hambatan atas munculnya inisiatif pelaksanaan diskresi (pengambilan keputusan di luar kebiasaan) oleh pejabat publik.
Refly mengatakan paradoks pemberantasan korupsi antara lain yakni, di satu sisi pemberantasan korupsi dinilai kurang efektif namun di sisi lain banyak keluhan penyelenggara negara bahwa begitu mudah seseorang dijerat pasal korupsi.
"Orang takut melakukan tindakan diskresi, karena khawatir memunculkan kerugian dan dianggap menimbulkan pelanggaran hukum," ujar Refly dalam seminar nasional bertajuk "Utilisasi Diskresi untuk Akselerasi Pembangunan dan Pelayanan Publik" yang diselenggarakan Lembaga Administrasi Negara di Jakarta, hari Kamis (9/6).
Dampak paradoks itu menyebabkan pembangunan nasional terancam tidak hanya oleh penyelenggara negara yang korupsi namun juga kekhawatiran pejabat negara melakukan korupsi sehingga tidak berani berinsiatif melakukan diskresi.
Dia mencontohkan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), khususnya BUMN persero dimandatkan oleh negara untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya di mana keuntungan itu akan kembali kepada negara dalam bentuk pajak atau dividen untuk akselerasi pembangunan.
Di sisi lain, karena keuntungan BUMN didefinisikan sebagai keuangan negara, maka pejabat BUMN takut melakukan tindakan diskretif, karena khawatir memunculkan kerugian dan dianggap menimbulkan pelanggaran hukum.
"Jadinya semua bermain aman dari sisi hukum. Begitulah dampak paradoks pemberantasan korupsi," jelas Refly. (Ant)
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...