Parlemen Daerah Deklarasikan Kemerdekaan Crimea dari Ukraina
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM - Parlemen Crimea, wilayah Ukraina dengan penduduk mayoritas etnis Rusia, menyatakan kemerdekaan pada hari Selasa (11/3) menjelang pemungutan suara (referendum) pemisahan dari Ukraina dan aneksasi oleh Rusia.
Deklarasi tersebut tampaknya merupakan upaya terbaru untuk mendukung dasar hukum dari referendum yang akan dijadwalkan pada hari Minggu (16/3). Namun pihak Ukraina dan Uni Eropa menyatakan referendum itu inkonstitusional.
Seorang wakil dari kantor parlemen daerah itu kepada pers mengatakan bahwa 78 dari 100 anggota memilih untuk mendeklarasikan kemerdekaan Crimea.
Naskah deklarasi itu dipublikasikan di website parlemen, dan mengklaim bahwa tindakan itu sesuai dengan hukum internasional, khususnya dengan mengutip putusan oleh Mahkamah Internasional tahun 2010 yang menegaskan Kosovo memiliki hak untuk mendeklarasikan kemerdekaan dari Serbia.
Putusan itu mengundang reaksi keras dari para pemimpin dunia, namun para pejabat Rusia bersikeras bahwa kemerdekaan bagi Kosovo juga mengancam kerusakan hukum internasional.
Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Selasa bahwa deklarasi parlemen tentang kemerdekaan Crimea adalah "sepenuhnya legal" dan bahwa Rusia akan sepenuhnya menghormati hasil referendum.
Kementerian itu juga mengatakan mengundang pengamat dari Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (Organization for Security and Cooperation in Europe / OSCE) untuk memantau referendum. Informasi itu ditolak oleh kepala OSCE.
Perdebatan Referendum
Menteri Luar Negeri Swiss dan Ketua OSCE, Didier Burkhalter "mengesampingkan kemungkinan ada sebuah pengamatan OSCE atas referendum yang direncanakan tidak memenuhi kerangka konstitusi sebagai kriteria dasar untuk keputusan," kata organisasi itu dalam sebuah pernyataan.
"Untuk setiap referendum mengenai tingkat otonomi atau kedaulatan Crimea yang sah perlu didasarkan pada konstitusi Ukraina dan harus sejalan dengan hukum internasional," kata OSCE.
Parlemen Ukraina memerintahkan Crimea pada hari Selasa untuk menghentikan pemungutan suara tentang pemisahan diri oleh parlemen daerah pada hari Rabu, dan parlemen akan dinyatakan bubar.
Lembaga legislatif negara itu juga menghimbau kepada warga Crimea untuk tidak mengambil bagian dalam pemungutan suara dan mengatakan bahwa seruan untuk aneksasi Rusia melanggar konstitusi. Sebab, hanya pemerintah pusat yang memegang hak untuk melakukan urusan luar negeri.
Sebuah dekrit yang menyerukan penghentian referendum pada hari Minggu lalu oleh penjabat presiden Ukraina, Oleksandr Turchynov, diabaikan oleh pejabat Crimea, karena secara teknis tidak diajukan dengan cara yang tepat.
Para pejabat di Crimea menolak mengakui kepemimpinan baru Ukraina yang dikuasai kelompok oposisi. Mereka menggulingkan Presiden Viktor Yanukovych pada 22 Februari menyusul demonstrasi selama beberapa bulan memprotes penundaan hubungan lebih dekat dengan Eropa.
Crimea merupakan tempat sebuah pangkalan angkatan laut utama Rusia. Sekarang kawasan itu dalam kendali pasukan relawan Crimea dan militer Rusia. Pasukan relawan itu tampil tanpa lencana resmi, tetapi membawa senjata dan mengenakan seragam yang digunakan oleh militer Rusia. Diperkirakan mereka di bawah komando Rusia yang menguasai pangkalan militer dan infrastruktur utama di semenanjung dalam beberapa pekan terakhir. (ria.ru)
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...