Pasang Surut Kehidupan Orang Pulo Tercermin Dalam Lenong Pulo
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Lenong merupakan cermin kehidupan Orang Pulo, masyarakat Kepulauan Seribu. Pada zaman keemasannya, lenong merupakan bentuk tontonan favorit masyarakat Kepulauan Seribu saat hajatan. Dalam pertunjukan di pergelaran ‘Cipta Budaya’ di Plaza Planetarium Taman Ismail Marzuki Jakarta pada Rabu (27/11), Teater Cipta mementaskan lenong Kepulauan Seribu.
Dahulu, lenong—yang ada sejak 1960-an sampai 1990-an—selalu sejalan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat. Ada masa-masa indah ketika Lenong Pulo pernah diundang di pelbagai acara hingga ke Tangerang dan beberapa pulau lain dengan menampilkan cerita-cerita yang membuat penonton merasa larut di dalamnya.
Tetapi perubahan struktur sosial dan nilai yang ditandai dengan semakin tua usia pelakon sehingga terjadi peralihan orientasi yang terfokus pada penguatan ekonomi rumah tangga, mempengaruhi perkembangan di dalam kehidupan lenong tersebut. Pengaruh tersbut, bukan saja mengakibatkan terjadinya perubahan dalam bentuk kesenian tersebut, tetapi pada tingkat tertentu dapat mengikis habis unsure esensinya, sehingga pada akhirnya kesenian tersebut dirasakan asing dan tidak dikenal lagi.
Lenong Pulo sebagai seni tradisi di tengah kehidupan masyarakat muslim tradisional tidak berlangsung tenang. Periode tersebut ditengarai masa di mana orang-orang yang semula belajar ilmu agama di Darat mulai pulang dengan membawa pengetahuan baru ke Pulo. Pengetahuan ini menempatkan Islam beroposisi terhadap seni tradisi sehingga Lenong harus minggir dan parkir seterusnya sebagai ruang ekspresi berkesenian masyarakat.
Teater Pasir Putih merupakan grup Lenong Pulo di Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu. Dalam pertunjukan di pergelaran ‘Cipta Budaya’ di Plaza Planetarium Taman Ismail Marzuki Jakarta pada Rabu (27/11), Teater Pasir Putih membawakan lakon yang menceritakan pemuda Pulo bernama Babang dan Babung.
Babang dan Babung adalah dua pemuda Pulo yang saling bersahabat. Menjelang lepas sekolah menengah, keduanya memiliki pilihan yang berbeda. Babang berniat merantau ke Darat, sekolah tinggi, dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Ibu Babang tidak merestuinya. Dia ingin Babang tinggal di Pulo, mengolah potensi alam, dan budaya yang ada di Pulo. Sebab sudah banyak yang terbengkalai. Lagipula dalam lima tahun terakhir, pulau semakin banyak dikunjungi orang Darat. Tentunya hal itu meningkatkan pendapatan ekonomi orang Pulo. Jadi untuk apa jauh-jauh cari duit.
Berbeda dengan Babung yang tetap ingin tinggal pulau hingga akhir hayatnya. Namun sebaliknya, Ibu Bapaknya menginginkan dia pergi ke Darat, bekerja apa saja, dan pulang ke Pulo membawa duit banyak. Bagi orang tua Babung, situasi dan kondisi di Pulo semakin tidak jelas. Ikan semakin susah karena banyak karang yang mati. Wisatawan hanya mau tahu tentang laut yang indah saja. Wisatawan tidak peduli dengan masyarakat Pulo dan budayanya. Daripada menyaksikan kehancuran Pulo perlahan di depan mata sebaiknya pergi dan kerja keras di Darat. Kalau kembali ke Pulo membawa uang banyak pasti lebih gampang mengurus masalah orang Pulo.
Editor : Bayu Probo
Wapres Lihat Bayi Bernama Gibran di Pengungsian Erupsi Lewot...
FLORES TIMUR, SATUHARAPAN.COM - Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka mengunjungi seorang b...