Pasar Keroncong Kotagede 2015
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kotagede Yogyakarta pada tanggal 12 Desember 2015 akan menjadi tempat penyelenggaraan Pasar Keroncong Kotagede (PKK) 2015.
Menyaksikan perkembangan keroncong di wilayah Yogyakarta (Kotagede khususnya) sebenarnya kita sedang membaca sebuah akulturasi bermusik yang terus berproses. Alat musik keroncong berupa cak-cuk (ukulele) diperkenalkan dan dibawa oleh para pelaut Portugis pada persinggahan di sekitar wilayah nusantara pada abad XVI. Pada awalnya di Kampung Tugu Jakarta para pelaut memainkan alat musik tersebut. Dalam perkembangannya menyebar ke seluruh pelosok wilayah nusantara.
Dari potensi musik keroncong di wilayah Kotagede, menginspirasi Djaduk Ferianto (salah satu pendiri Orkes Sinten Remen) untuk menginisiasi warga Kotagede mewujudkan satu bentuk pelestarian musik keroncong melalui sebuah gelaran secara rutin. Selain dapat menghidupi masyarakat melalui geliat ekonomi masyarakat sekitar, gelaran ini diharapkan mampu pula 'menghidupi' seniman/musisi keroncong sebelum, selama, dan setelah gelaran berlangsung melalui dialektika maupun persinggungan ide, akal-budi, dan pemikiran yang berkembang.
Pada PKK 2015 akan menampilkan 15 grup keroncong serta beberapa penyanyi yang akan mengisi 3 (tiga) panggung terpisah di sekitar Kotagede Yogyakarta. Ketiga panggung tersebut adalah Panggung Loring Pasar di Utara Pasar Kotagede, Panggung Sayangan di Kampung Sayangan Utara Masjid Besar Mataram, serta Panggung Sopingen di Halaman Pendopo Sopingen. Tidak kurang Iga Mawarni, Subardjo HS, Didik Nini Thowok, AdakalaNya, Orkes Sinten Remen, serta Endah Laras akan turut memeriahkan panggung keroncong. Kemeriahan itu akan ditambah dengan hadirnya Shaggydog, grup musik SKA asal Yogyakarta yang akan memainkan lagu-lagunya dalam irama keroncong.
Keroncong, Musik Aseli Indonesia
Dalam jumpa pers yang dilaksanakan di Omah Dhuwur Resto (Yogyakarta) dihadiri Dinas Kebudayaan DIY, budayawan Natsir Dabey, ketua pelaksana PKK 2015 Alfan Farhan, Djaduk Ferianto, Prof. Dr. Victor Ganap., M.Ed, Kamis (10/12); Djaduk Ferianto, salah satu penggagas PKK 2015, menjelaskan bahwa Pasar Keroncong Kotagede sebagai upaya mendekatkan keroncong pada publik dalam berbagai ranah, lintas generasi, lintas genre keroncong dari klasik-kontemporer, yang asli maupun garapan.
Lebih lanjut Djaduk memaparkan bahwa keroncong mencoba digugah dalam kehidupan langsung di masyarakat. Pemilihan Kotagede selain sebagai kawasan cagar budaya, sekaligus untuk menghidupkan dialektika berkeroncong yang secara langsung ataupun tidak langsung turut mewarnai “langgam” hidup masyarakat Kotagede sendiri. Perkembangan keroncong di Kotagede mengalami akulturasi-asimilasi sehingga tercipta sedemikian banyak genre keroncong yang berkembang yang bahkan turut mempengaruhi gaya hidup warga: musik keroncong yang nyamleng (rasa enak dan nyaman yang tidak terdefinisikan secara kata/kalimat), gembira, selo (santai).
Setiawan Sahli. S.E., M.M mewakili Kepala Dinas Kebudayaan DIY memberikan apresiasi Pasar Keroncong Kotagede 2015 sebagai tawaran baru dalam memainkan keroncong. Sebagai stakeholder yang menangani masalah kebudayaan, Dinas Kebudayaan DIY turut berkewajiban memberikan ruang bagi tumbuh-kembangnya potensi seni-budaya di wilayah Yogyakarta, keroncong salah satunya.
Sementara Prof. Dr Victor Ganap., M.Ed (akademisi/pengamat musik keroncong) menjelaskan bahwa keroncong adalah musik asli Indonesia. Pernyataan ini didasarkan pada beberapa fakta bahwa pertama hanya di Indonesia yang ada musik keroncong, kedua hanya di Indonesia musik keroncong berkembang dengan pesat sejak awal abad XX.
"Andjar Any, musisi-penulis lagu keroncong-langgam, pernah mengatakan pada saya, di Portugal sendiri yang dianggap sebagai asal mula musik keroncong sudah tidak ada yang memainkan musik ini. Pada satu kesempatan saya ke sana (Portugal), berdiskusi dengan para musisi di sana saya tidak menemukan itu. Cuk dan cak (ukulele) sebagai roh keroncong dan ciri khas keroncong tanpa drum set pun dimainkan secara berbeda. Kalau di sana dimainkan dengan dipetik sama juga yang dimainkan di Hawai, di Indonesia dimainkan secara di-genjreng. Permainan (ukulele yang di-genjreng) ini khas hanya ada di Indonesia. Dan itu dimainkan dalam musik keroncong. Selain itu, pola ritmis yang ada dalam musik keroncong dapat digunakan untuk mengiringi semua lagu. Atas dasar beberapa fakta itu, saya mengambil kesimpulan bahwa keroncong adalah musik asli Indonesia." papar Victor Ganap.
Lebih lanjut Victor Ganap menjelaskan di Malaysia musik keroncong sudah diajarkan pada anak-anak sejak sekolah tingkat dasar. Bagaimana dengan Indonesia? "Dari Kotagede kita bangun keroncong untuk Indonesia dan dunia." pungkas Victor Ganap
Senada dengan Ganap, Natsir Dabey menambahkan bahwa secara bermusik Indonesia berlimpah musisi keroncong handal, namun dari sisi apresiasi (harus diakui) mungkin kita sedikit ketinggalan dari Malaysia. Berkeroncong masih sebatas klangenan bagi musisinya sehingga keroncong terkesan seadanya serta tidak memiliki daya hidup, padahal kreativitas dalam memainkan keroncong itu sendiri yang justru akan menghidupkannya.
Waldjinah, legenda keroncong-langgam Indonesia pernah berkata "Mau go international? Jadilah penyanyi keroncong." Bisa jadi benar apa yang dikatakan Waldinah, Mau go international? Dengan potensi yang ada didalamnya mungkin ini saatnya, menjadikan Kotagede sebagai New Orleans-nya Indonesia dengan keroncongnya.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...