Pasca Tsunami Aceh Dijauhi Investor karena Syariat Islam
BANDA ACEH, SATUHARAPAN.COM – Banyak orang Aceh mengatakan tsunami merupakan cobaan Allah yang akan membawa berkah kepada umat yang menderita. Bencana dahsyat itu memang kemudian mengakhiri tiga dekade perang terhadap Gerakan Aceh Merdeka (GAM), membuka Aceh ke dunia luar dan hampir US$ 5 miliar bantuan internasional mengalir ke wilayah ini.
Namun, setelah 10 tahun bencana yang membuat 167.540 manusia meninggal dunia, tidak juga tampak tanda-tanda masuknya investasi berskala besar ke daerah ini. Penerapan hukum Syariat Islam yang semakin ketat dan kaku membuat para investor seperti khawatir bahkan alergi menyentuh wilayah yang kerap dijuluki Beranda Mekkah ini.
The Wall Street Journal, dalam sebuah laporan yang panjang mengenai keadaan Aceh pasca tsunami, menulis bahwa Aceh telah membayar harga untuk penerapan Syariat yang semakin ketat. Selain menuai kritik dari kelompok pembela Hak Asasi Manusia (HAM), Aceh merupakan wilayah yang lambat dalam menarik investasi asing dalam jumlah besar maupun dalam memikat wisatawan ke pantai-pantainya. Banyak orang luar yang khawatir beroperasi di suatu tempat yang dijalankan berdasarkan hukum agama.
Hukum Syariat itu adalah "pembunuh investasi," kata Paul Rowland seorang konsultan politik berkantor di Jakarta, seperti dikutip oleh The Wall Street Journal.
Data Bank Indonesia menunjukkan perlambatan investasi di Aceh pada triwulan III 2014. Realisasi investasi Penanaman Modal Asing pada triwulan III tahun ini hanya US$ 3,1 juta turun atau pertumbuhan minus 23% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Demikian juga dengan Penanaman Modal Dalam Negeri tumbuh minus sebesar 21 persen dibandingkan tahun 2013 periode yang sama.
Indikator penurunan investasi itu, menurut BI, juga dapat dilihat dari penurunan penjualan unit kendaran bermotor untuk kepentingan investasi. Kendaraan bemotor untuk investasi terdiri dari bus, truck, dan becak motor. Pada triwulan III 2014 turun menjadi 228 unit dari 289 unit triwulan III tahun sebelumnya.
Kehidupan Baru?
Kendati bantuan asing ke Aceh demikian masif pasca tsunami, tidak membuat Aceh semakin ramah terhadap orang asing. The Wall Street Journal mengatakan, perubahan yang terjadi pasca tsunami justru membuat para pemimpin lokal semakin mudah memperluas kekuatan hukum agama, termasuk hukum cambuk. Aceh adalah satu-satunya wilayah di Indonesia dimana hukum Syariat diperbolehkan.
Di mata tokoh lokal, ini adalah sebuah kehidupan baru. "Aceh memiliki cara hidup baru sekarang," kata Ramli Sulaiman, mantan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bertugas di parlemen Provinsi Aceh. Ia ikut berperan mendorong diterapkannya undang-undang yang memberlakukan syariah secara ketat, termasuk hukum cambuk bagi kaum gay dan mereka yang tertangkap basah berzinah.
Tsunami yang menyebabkan 228 ribu orang Aceh meninggal maupun dinyatakan hilang telah mengakhiri pemberontakan GAM selama 29 tahun. Mereka kemudian duduk berunding dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang menghasilkan kesepakatan damai pada Agustus 2005.
Sebagai hasilnya, Aceh mendapatkan otonomi yang lebih luas. Perjanjian damai juga memungkinkan partai-partai politik lokal ikut dalam Pilkada. Dan Partai Aceh, partai yang didirikan mantan GAM mendominasi politik daerah itu.
Kemudian Aceh menerapkan hukum Syariat. Pada tahun-tahun sebelum bencana, polisi dan pengadilan terpisah didirikan secara paralel dengan hukum sekuler. Namun pada dekade terakhir, hukum Syariat telah mendominasi. Tahun ini, hukum Syariah juga bisa menjangkau warga non-Muslim, dan menambahkan ketentuan bahwa pezinah dan homoseksual bisa dihukum cambuk.
Awal tahun ini, kontroversi sempat meruyak di Aceh, ketika dua perempuan yang tidak menutup kepala terjaring oleh razia yang dilakukan polisi agama atau Wilayatul Hisbah (WH). Kedua perempuan itu mengaku beragama Kristen. Usai diperiksa dan dinasihati, keduanya dilepas. Biasanya, bila ada perempuan tak mengenakan jilbab terjaring razia, ia dibawa ke kantor WH untuk mendapatkan pembinaan lebih.
Menurut Kepala Seksi Penegakan Pelanggaran WH Aceh, Samsuddin, non-Muslim diharapkan menghormati Aceh yang melaksanakan Syariat Islam. Dia mengimbau perempuan non-Muslim juga menutup aurat. “Non-Muslim yang tinggal di Aceh diminta memakai jilbab untuk menghormati Muslim di Aceh,” katanya, seperti dikutip oleh Nurdin Hasan dalam tulisannya berjudul Syariat untuk Non-Muslim di AcehKita.co, yang memenangi hadiah Fellowship Liputan Keberagaman 2014 yang dilaksanakan Serikat Jurnalistik untuk keberagaman (Sejuk).
Samsuddin menyatakan, ke depan qanun tentang syariah akan diberlakukan bagi non-muslim di Aceh.
Setelah pernyataan itu diberitakan media massa, pejabat Aceh berusaha mengklarifikasikan bahwa syariat Islam hanya berlaku untuk muslim. Namun kekhawatiran tetap timbul,
sebab pasal 7 Qanun Hukum Acara Jinayat yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada 13 Desember 2013, mengatakan, “Qanun Aceh ini berlaku untuk lembaga penegak hukum dan setiap orang yang berada di Aceh.” Itu bermakna qanun itu dilaksanakan bagi semua orang di Aceh, tanpa memandang agama atau kewarganegaraan.
Hal ini telah mendatangkan keberatan dari berbagai kalangan, termasuk pemuka agama bukan Muslim di Aceh.“Toleransi orang Aceh terhadap warga non-muslim sangat tinggi. Saya pribadi merasa lebih menjadi Katolik sejati sejak bertugas di Aceh. Saya merasa lebih taat,” kata Baron Ferryson Pandiangan, Pembimbing Masyarakat Katolik di Kementerian Agama Provinsi Aceh. Soal menjerat warga non-muslim bila melakukan pelanggaran bersama orang Islam, Baron menyatakan, "Patut dipertanyakan juga apa motif di balik masuknya pasal itu karena syariat Islam hanya untuk Muslim,” katanya.
Kho Khie Siong, Ketua Komunitas Hakka Aceh, menyebutkan bahwa toleransi antarumat beragama terjalin sangat baik di Aceh. "Tetapi, ini terkesan agak aneh karena yang saya tahu Syariat Islam di Aceh hanya berlaku untuk Muslim saja. Jadi kenapa harus diberlakukan juga untuk non-Muslim," ujarnya.
Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad menyatakan kekhawatirannya saat pasal kontroversial itu diimplementasikan, karena bisa jadi polisi syariah bakal bertindak di luar kewenangan seperti diatur dalam Qanun Hukum Acara Jinayat.
“Ini bentuk diskriminasi terhadap warga non-muslim oleh DPRA karena tetap memaksakan pasal itu masuk dalam qanun,” katanya.
Merdeka dalam Syariah?
Dalam wawancara The Wall Street Journal dengan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, mantan pemimpin GAM yang selama bertahun-tahun tinggal di tempat pengasingan, Swedia, mengatakan bahwa tujuan gerakan mereka dahulu adalah kemerdekaan, bukan Syariat. Tetapi hukum agama sangat populer di kalangan penduduk Aceh yang sangat terikat pada sejarah, dan para mantan pemberontak mendukung hal itu.
"Agama dan Aceh seperti daging dan darah," kata Zaini.
Lebih dari 150 orang telah dicambuk di depan umum sejak tahun 2010 untuk pelanggaran seperti perjudian, mabuk-mabukan dan berhubungan secara tidak layak dengan lawan jenis. Amnesty International menuduh praktik-praktik ini sangat kejam, tidak manusiawi dan merendahkan.
Wilayatul Hisbah beroperasi secara independen dari penegak hukum konvensional. Mereka berpatroli di jalan-jalan, memerintahkan perempuan untuk tidak berpakaian ketat, meminta para pria menghadiri sholat di masjid dan menegur pasangan yang belum menikah untuk tidak duduk berdekatan.
Para pemimpin agama mengakui ada ekses dalam penerapan hukum Syariat. Di daerah pedesaan, perempuan dilarang duduk mengangkang dalam mengendarai sepeda motor. Perempuan juga ditegur apabila mengenakan rok terlalu pendek.
Pada tahun 2010, tiga petugas Wilayatul Hisbah memperkosa seorang mahasiswi di sebuah kantor polisi Syariah, setelah sang mahasiswi ditangkap karena kedapatan bersama seorang pria di depan umum. Dua dari tiga polisi Syariah itu dihukum penjara dan kepala polisi Syariat setempat dimutasi.
Namun, para pejabat Aceh bersikukuh membela penerapan hukum Syariat dan mengatakan Aceh menerapkannya tidak sekeras din beberapa bagian lain di dunia ini.
"Kami tidak membunuh atau melempari orang dengan batu atau memotong tangan," kata Syahrizal Abbas, kepala Badan Syariat Islam Aceh. "Tujuan kami adalah untuk membuat orang berperilaku baik, memiliki pekerjaan yang layak dan selalu mencari penghidupan yang lebih baik bagi diri mereka sendiri," kata dia.
Tidak Menular
Awalnya, banyak investor khawatir penerapan Syariat seperti yang berlangsung di Aceh akan menyebar ke bagian lain Indonesia. Apalagi sejumlah wilayah di Tanah Air dikenal sebagai kantong-kantong Muslim radikal dan secara historis sering mengalami serangan teror berkaitan dengan motif agama.
Namun terbukti sejauh ini hukum Syariat tidak menular ke daerah-daerah lain dan para pakar dewasa ini tidak yakin hal itu akan terjadi, mengingat sebagian besar warga negara lebih menginginkan Islam yang lebih moderat.
Apalagi, bukti-bukti selama ini menunjukkan Aceh telah membayar harga yang sangat mahal dengan pilihannya.
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...