Pascateror Sarinah, UU Terorisme Perlu Direvisi?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pascaperistiwa teror di Kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, hari Kamis (14/1) kemarin, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Luhut Binsar Pandjaitan, mewacanakan revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Luhut menilai, perlu ada kebijakan baru yang lebih menitikberatkan pada upaya preventif agar pemerintah dan aparat keamanan tidak sekadar bertindak seperti 'pemadam kebakaran'.
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Ridwan Habib, mengatakan pemerintah tidak perlu merealisasikan wacana revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dia menyarankan, pemerintah sebaiknya menerapkan pasal-pasal yang tertuang dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme lebih tegas di lapangan.
"Saya rasa tidak perlu sampai merevisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Cukup penerapan pasal-pasal yang tertuang dalam UU itu saja di lapangan. Karena kalau sampai revisi UU, nanti akan melalu proses politik dan lain sebagainya lagi," ujar Ridwan saat dihubungi satuharapan.com, dari Jakarta, hari Minggu (17/1).
Dia mengambil contoh, pemerintah seharusnya bisa mencegah penyebaran ideologi radikalisme dari para narapidan yang berada di dalam penjara. Karena faktanya, sejumlah narapidana kasus terorisme masih bisa menyebarkan ideologinya ke masyarakat luas melalui tulisan, suara, hingga video.
"Contohnya, narapidana kasus terorisme, Aman Abdurrahman, bisa dengan sangat mudah menyebarluaskan pemikiran atau ideologinya dari balik penjara. Caranya, lewat tulisan, suara, atau video," katanya.
"Dan itu terjadi selama lebih dari 10 tahun Aman dipenjara," Ridwan menambahkan.
Butuh Identitas Diri
Sementara itu, Pemikir Muda Lingkar Studi Terapan Filsafat, Ito Prajna-Nugroho, menilai wacana revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme demi melahirkan kebijakan yang menitikberatkan pada upaya preventif, tidak tepat. Menurutnya, pemerintah hanya melihat masalah terorisme pada satu sisi saja.
"Kalau jadi revisi UU (Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme) artinya pemerintah melihat persoalan ini dari satu sisi saja," katanya.
Padahal, Ito melanjutkan, terorisme punya permasalahan yang multi dimensi. Bila dilihat dari sisi kebudayaan, sosok yang bergabung dengan kelompok terorisme tergiur dengan sistem yang tidak ditawarkan demokrasi ataupun sekularisme.
"Jadi jangan dilihat dari satu sisi saja, pada sisi kebudayaan, orang-orang yang bergabung dengan kelompok terorisme ini butuh identitas diri dan hal itu ditawarkan oleh gerakan ekstrem, bukan dari demokrasi ataupun sekularisme," tutur Ito.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...