Paskah dan Pengampunan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Mungkinkah seseorang mengampuni orang lain yang telah membunuh anaknya? Atau mengampuni sopir yang telah merenggut nyawa istrinya? Jika mungkin, kekuatan seperti apa yang memberi mereka kemampuan mengampuni itu?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu bergema, khususnya, dalam batin jemaat GKI jalan Layur, Rawamangun, sehingga Paskah kemarin (20/04) terasa sangat istimewa. Alih-alih dari kebaktian dan perayaan Paskah seperti laiknya, jemaat justru disuguhi kesaksian dan refleksi yang luar biasa tentang makna pengampunan. Tidak heran jika gereja yang masih setengah dipugar itu disesaki oleh pengunjung, bahkan sampai halaman depan.
Jemaat GKI Layur memang punya pengalaman khusus dalam soal ini. Bulan Maret lalu, dua peristiwa tragis berturut-turut menghentak kesadaran mereka. Tanggal 3 Maret, Ade Sara Angelina Suroto, seorang remaja putri yang baru berusia 18 tahun, ditemukan tewas mengenaskan karena perbuatan keji mantan kekasihnya, Ahmad Imam Al Haffid (19 tahun) beserta pacar baru Haffid, Assyifa Ramadhani (18 tahun).
Temuan jenasah Ade Sara di jalan tol itu sempat membuat masyarakat ibukota geger. Berulang kali media massa mengulas berita pembunuhan itu, yang konon alasannya hanya karena cemburu dan patah hati. Tetapi orang lebih tercengang ketika Suroto dan Elisabeth Diana, orangtua Ade Sara dan anggota jemaat GKI Layur, justru secara terbuka mampu mengampuni perbuatan keji Haffid dan Syifa.
Di depan pusara putri semata wayang mereka, Elisabeth mengucapkan kata-kata yang membuat banyak orang terbelalak. “Mama sayang kamu, nak. Mama tahu kamu sekarang sudah di soga,” ujarnya. “Sara jangan khawatir, mama akan mengampuni Haffid dan Syifa. Kamu juga harus mengampuni mereka, ya nak.”
Elisabeth menuturkan kembali kalimat itu sembari terisak di depan jemaat. “Sampai sekarang saya tidak tahu mengapa saya bisa mengucapkan kalimat itu, yang saya yakini dari Tuhan sendiri,” katanya lagi. Ia mengaku, ketika melihat jenasah putrinya, ia sempat “berdebat” dengan Tuhan. “Mengapa harus putri tunggal kami yang diambil?” tanya Elisabeth. “Jika Tuhan memiliki rencana terbaik untuk saya, apa rencana-Nya?”
Namun akhirnya Elisabeth hanya mampu pasrah. “Saya tidak pernah bisa mengangkat tubuh Sara. Tetapi malam itu, saya mengangkat jenasahnya, lalu hanya mampu berkata, ‘Kehendak-Mu saja yang terjadi,’” tuturnya lagi. Dan pengalaman spiritual itulah yang memberinya kemampuan untuk mengampuni Haffid dan Syifa.
Ini juga disokong oleh Suroto, suami Elisabeth. “Tentu saja awalnya saya marah, kecewa, dan tahu bahwa saya punya hak untuk membalas,” kata Suroto. “Tetapi saya yakin, Tuhan tidak mengijinkan saya membalas, dan memberi kekuatan sehingga mampu memaafkan mereka.”
Hanya berselang kurang dari tiga Minggu dari peristiwa kematian Sara, tanggal 26 Maret, kembali jemaat GKI Layur dikejutkan oleh peristiwa tragis lain. Kali ini Pdt. Samuel Lie, pendeta jemaat di situ, harus merelakan Ena, istri tercintanya. Siang itu, sepulang dari bank BCA di Rawamangun, Ena ditabrak Metromini T47 yang mengebut ugal-ugalan. Lukanya terlalu parah, sehingga ketika sampai di RS Persahabatan, Ena sudah menghembuskan nafas terakhir.
Tentu saja, peristiwa itu mengguncang kehidupan Samuel Lie. “Saya ingin bertemu dengan pak Siregar, sopir itu, untuk mengetahui persis apa yang terjadi. Tidak ada dalam hati saya perasaan untuk memaafkan dia,” ujarnya jujur. Namun perbincangan di dunia maya yang sempat ia baca membuat Samuel sadar, selama ini sudah banyak perhatian dan simpati tercurah padanya. Lalu siapa orang yang memperhatikan nasib si sopir?
Kesadaran itu mengubah Samuel. Bersama Suroto, yang baru kehilangan Ade Sara, ia menemui Siregar di dalam tahanan Kaditlantas Kebon Nanas. Di sana, hati Samuel tersentuh melihat Siregar ditemani istri dan anak mereka yang masih kecil. Maka keduanya pun bertemu dan berpelukan. “Pada saat itu saya sadar, Tuhan menghendaki saya memaafkan Siregar,” katanya.
Maka Samuel pun memberitahu pihak kepolisian, bahwa dirinya tidak akan menuntut lebih lanjut, baik secara perdata maupun pidana, namun membiarkan proses hukum tetap berlangsung. Itu pula yang dilakukan keluarga Suroto. Beberapa waktu lalu mereka bertemu kembali dengan kedua pembunuh putri mereka, tetapi tanpa dendam maupun kebencian.
Paskah kali ini jadi sangat bermakna bagi jemaat GKI Layur. Mereka belajar kembali apa yang pernah disebutkan Desmond Tutu, Uskup Agung Afrika Selatan: "Without forgiveness, there is no future."
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...