PBB, Papua dan Penentuan Nasib Sendiri
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM - Ada beberapa catatan historis, sekaligus sebagai langkah strategis dalam memberi fokus untuk solusi Papua, yang menurut saya perlu disampaikan.
Pertama, masalah Papua dalam peta politik internasional, sudah pernah tercatat dalam agenda PBB, sebagai wilayah sengketa antara Belanda dan Indonesia. Sengketa itu berlangsung selama sekitar satu dekade, 1949-1962. Dalam kurun waktu di atas, Sekjen PBB pertama Dag Hammarskjold mempersiapkan proposal mengenai penyelesaian Papua dengan judul "Papua for the Papuans" (lihat Greg Paulgrain dalam The Incubus of intervention" hal 68.)
Dalam proposal itu disebutkan bahwa status Papua akan ditarik menjadi wilayah Protektorat PBB untuk kemudian dipersiapkan untuk sebuah proses demokratis yakni Hak Menentukan Nasib Sendiri "Right for Self Determination," seperti yang sudah berlangsung sebelumnya dengan Kamerun, Afrika.
Proposal tersebut sedianya akan disampaikan dalam SU PBB (UNGA) Oktober 1961. Tepat sebulan menjelang SU PBB Oktober 1961, Sekjen PBB dan rombongan, mengalami "kecelakaan" pesawat di Ndola, Kongo. Dari hasil investigasi, ternyata, ditemukan bahwa pesawat Dag Hammarskjold direkayasa untuk diledakkan dan dikatikan dengan CIA dibawah pimpinan DCI Allen Dulels. Dalam pesawat sudah diletakkan 6 kg bom oleh agen CIA.
Dicatat oleh Greg Polgrain, bahwa kecelakaan pesawat tersebut, untuk menghentikan proposal Dag Hammarskjold yang bakal diajukan dalam SU PBB Oktober 1062; agar mengenai Papua, tidak boleh lagi diklaim oleh Indonesia maupun oleh Belanda. Dalam sejarah PBB, dicatat bahwa Sekjennya diasasinasi di bawah tangan CIA, karena ada kepentingan lain yakni AS, untuk mengontrol tambang emas terbesar dan terkaya di dunia, yang ditemukan Jacques Dozy tahun 1936 di Pegunungan Carstenz.
Catatan historis kedua yang patut menjadi acuan bagi seluruh proses diskusi dan lobi baik pada tingkat internasional maupun dalam negeri adalah mengenai fakta pelaksanaan Act of Free Choice pada tahun 1969. Peristiwa politik itu dibahas secara komprehensif oleh Prof PJ Drooglever dalam bukunya Een Daad van Vrije Keuze, Act of Free Choice, dengan kesimpulan bahwa Act of Free Choice was a shame. Pepera 1969 adalah sesuatu yang memalukan. Karena penuh rekayasa, intimidasi dan pembohongan.
Dalam kaitan dengan catatan kedua inilah maka kini diperlukan sebuah dokumentasi dari sisa 1025 orang yang ikut dalam Pepera untuk menjadi dokumen "the ultold story", bagi dunia dan bagi Indonesia, tentang bagaimana proses integrasi itu terjadi.
Catatan ketiga saya adalah mengenai kisah pelanggaran HAM yang terjadi sejak 1962, yang puncaknya berlangsung antara tahun 1969- 1998. pelanggaran HAM dalam kurun waktu itulah yang membawa Tim 100 dibawah pimpinan Tom Beanal menemui Presiden BJ Habibie 26 Februari 1999 di Istana Merdeka. Dalam pertemuan itulah untuk pertama kali secara publik Tim 100 meminta dengan hormat kepada presiden RI untuk melepaskan Papua menjadi negara yang berdaulat, sama seperti Indonesia yang berdaulat setelah 3 abad dijajah oleh Belanda.
Dalam bulan September 2016, kembali masalah Papua diangkat oleh wakil-wakil negara yang tergabung dalam MSG (Salomon Islands, Vanuatu, Fiji, PNG dan New Caledonia) didukung oleh wakil-wakil Micronesia, Nauru, Tonga dan Palau, mendesak PBB untuk mengembalikan hak sipil politik rakyat Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat, menuju Hak Menentukan Nasib Sendiri, karena pelanggaran HAM yang terjadi selama dikuasai oleh Indonesia sejak 1962. Kendati tuduhan diatas dibantah oleh wakil Indonesia, termasuk Menlu RI, fenomena pelanggaran HAM di Papua tidak bisa lagi dibantah.
Kesimpulan saya ialah bahwa: jika pada tahun 1962, masalah Papua, terbatas menjadi sengketa Belanda-Indonesia, kini pada tahun 2016, 53 tahun sejak 1963, Papua diintegrasikan ke dalam Indonesia, masalah Papua kembali digugat oleh wakil-wakil negara Pasifik.
Saya menyerukan agar jaringan pegiat HAM di Papua, dengan dukungan Dewan Adat serta Gereja dan unsur Masyarakat Sipil Papua lainnya, LSM, Perguruan Tinggi, supaya mempersiapkan "Position Paper" Papua, dengan dilengkapi antara lain dokumen Untold Story dari para pelaku sejarah Pepera yang masih hidup. Position paper itulah yang menjadi gugatan hukum rakyat Papua, bahwa suara wakil-wakil negara Pasifik di SU PBB memiliki dasar dan fakta hukum yang tidak bisa terbantah sesuai prinsip-prinsip dasar PBB tentang Deklarasi Universal Hak-hak dasar Masyarakat Pribumi.
Phil Karel Erari adalah pendeta GKI di Tanah Papua, menulis buku "Tanah Kita, Hidup Kita: Hubungan Manusia dan Tanah di Irian Jaya Sebagai Persoalan Teologis: Eko Teologi Dalam Perspektif Melanesia."
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...