PBB: Persenjatai Anak-anak dengan Pena dan Buku, Bukan Senapan
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM - Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) meluncurkan inisiatif baru untuk mengakhiri perekrutan dan penggunaan anak-anak dalam pasukan dalam konflik untuk dicapai pada tahun 2016.
Sekretaris jenderal PBB, Ban Ki-moon menekankan bahwa anak-anak semestinya dipersenjatai dengan pena dan buku pelajaran, bukan senapan, kata dia dalam peluncuran inisiatif itu hari Kamis (6/3) di markas besar PBB di New York, Amerika Serikat.
Di seluruh dunia, kata dia, ada ribuan anak laki-laki dan perempuan yang direkrut menjadi anggota pasukan pemerintah dan kelompok oposisi bersenjata untuk bertugas sebagai kombatan, bekerja untuk koki, kuli, utusan atau peran lainnya. Anak-anak perempuan kadang-kadang juga direkrut untuk melayani dan tujuan seksual.
Kampanye “Children, Not Soldiers” (anak-anak bukan tentara) diluncurkan untuk menyerukan kepada Pemerintah, organisasi regional dan non pemerintah untuk bekerja dengan PBB dalam mengintensifkan upaya untuk memenuhi tujuan dari ditiadakannya penggunaan anak-anak sebagai pasukan.
"Semua anak berhak mendapat perlindungan, bukan dieksploitasi," kata Ban dalam pesan yang disampaikan oleh Perwakilan Khusus untuk Anak-anak dan Konflik Bersenjata, Leila Zerrougui. "Mereka semestinya masuk sekolah, bukan menjadi tentara dan kelompok untuk berperang. Anak-anak harus dipersenjatai dengan pena dan buku pelajaran, bukan senapan."
Menurut dia, kampanye ini untuk membantu lebih lanjut menjangkau banyak aktor non negara yang terus merekrut anak-anak dalam pertempuran.
Zerrougui mencatat ada konsensus di antara negara-negara untuk tidak merekrut anak atau menggunakan anak dalam konflik dengan pasukan pemerintah. "Waktunya telah tiba bagi dunia untuk bersatu dan mengubah halaman, sekali dan untuk semua, pada perekrutan dan penggunaan anak-anak oleh aparat keamanan dalam konflik," kata dia.
Para pihak dalam konflik yang merekrut dan menggunakan anak-anak tercantum dalam lampiran Laporan Tahunan Sekretaris Jenderal mengenai Anak dan Konflik Bersenjata. Sepuluh tahun lalu, Dewan Keamanan meminta semua pihak untuk bekerja dengan PBB dan mempersiapkan tindakan mengakhiri dan mencegah perekrutan dan penggunaan anak-anak.
Melalui mekanisme ini, Dewan membuka pintu bagi pemerintah untuk menegaskan komitmen mereka bahwa anak-anak tidak termasuk dalam pasukan keamanan mereka dan menerima bantuan untuk mengubah komitmen ini menjadi kenyataan.
Saat ini, ada delapan pasukan keamanan pemerintah yang terdaftar merekrut dan penggunaan anak-anak. Dalam tiga tahun terakhir, enam dari negara itu telah menandatangani rencana aksi dengan PBB, yaitu Afghanistan, Chad, Sudan Selatan, Myanmar, Somalia, dan Republik Demokratik Kongo. Kedua lainnya, Yaman dan Sudan, telah menyatakan komitmen mereka untuk pasukan keamanan yang bebas dari anak-anak. Dialog dengan PBB sedang berlangsung.
"Perekrutan dan penggunaan anak-anak oleh angkatan bersenjata harus diakhiri," kata Direktur Eksekutif Dana PBB untuk Anak-anak (UNICEF), Anthony Lake. "Kita membantu mantan anak-anak tentara untuk mengatasi pengalaman mengerikan dan mempersiapkan diri untuk masa depan yang baru. Kita melakukan lebih dari memperbaiki kehidupan yang rusak. Kita mulai untuk membalut luka bangsa yang tercabik-cabik oleh konflik," kata dia.
Peluncuran kampanye ini diselenggarakan oleh Jean Asselborn, Menteri Luar Negeri Luxembourg dan Urusan Eropa. "Dengan mengambil bagian dalam permusuhan, dan dipaksa untuk menjadi alat perang, hak-hak paling mendasar dari anak-anak telah dilanggar: hak mereka untuk hidup, kesehatan, pendidikan, dan hak untuk perlindungan dari kekerasan fisik atau mental," kata Asselborn. (un.org)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...