PBNU: IIDC ASEAN Upaya Konsolidasi Peradaban Membangun Harmoni
Uskup Papua: kekerasan belum mampu menyelesaikan konflik Papua.
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf, mengatakan bahwa ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC) 2023 sebagai inisiasi untuk memulai terciptanya konsolidasi peradaban dalam membangun harmoni.
ASEAN IIDC diselenggarakan atas inisiasi PBNU atas kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Agama, serta didukung penuh oleh Presiden Joko Widodo.
"Konferensi ini sebagai inisiasi untuk memulai konsolidasi dari konstituensi peradaban besar yang dapat mendorong tumbuhnya harmoni. Semoga bisa menginspirasi dunia internasional secara keseluruhan," kata Gus Yahya dalam Pembukaan ASEAN IIDC di Jakarta, Senin (7/8/2023).
ASEAN IIDC diselenggarakan bersamaan dengan status Indonesia yang saat ini memegang posisi sebagai Ketua ASEAN dan menjadi Tuan Rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN.
Gus Yahya melihat bahwa masyarakat di lingkungan ASEAN dan Indo Pasifik telah mewarisi peradaban yang sama. Hal itu menjadi modal besar bagi masyarakat ASEAN untuk membangun perdamaian.
"Kita mewarisi satu nilai peradaban bersama yang tumbuh jauh ke belakang sejak abad ke-3. Lebih luar biasa lagi memiliki ciri utama berupa nilai-nilai harmoni dan toleransi," kata Gus Yahya.
Uskup Papua: Dialog di Tengah Kompleksitas Dunia
Sementara itu, Uskup Papua, Mgr Yanuarius Teofilus Matopai You, mengapresiasi penyelenggaraan ASEAN IIDC 2023, sebagai forum dialog di tengah kompleksitas dunia saat ini.
Salah satu strategi itu adalah dengan memobilisasi para pemimpin budaya dan agama yang berpikiran sama di seluruh Asia, Asia Selatan dan Tenggara. Forum ini juga dapat mendorong apresiasi baru terhadap prinsip-prinsip dan penghormatan terhadap pluralisme yang menjadi ciri khas kawasan ini.
"Di tengah pluralisme dan kompleksitas dunia saat ini, dialog menjadi pilihan dan sikap paling tepat. Melihat tanda-tanra zaman, gereja semakin menyoroti dialog antar agama sebagai elemen penting dari misi gereja saat ini," kata Mgr Yanuarius.
Sebagai pemimpin gereja, ia mengaku telah belajar dari pertemuan antara Santo Fransiskus dari Asisi dengan Sultan Al-Malik Al-Kamil pada 800 tahun yang lalu. Pertemuan semacam itu kemudian disegarkan oleh bertemunya Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Grand Syekh Ahmad Ath-Thayyib pada 2019.
Sebagai seorang pemimpin agama di Papua, Yanuarius mengaku tengah fokus pada dimensi komunikatif dari aksi tanpa kekerasan, serta dialog sebagai jalan dan awal dari pencarian solusi, bukan tujuan akhir. "Sejarah menunjukkan bahwa kekerasan belum mampu menyelesaikan konflik Papua, itu hanya menambah jumlah korban dan memperburuk masalah. Penyelesaian konflik Papua secara damai sangat dibutuhkan untuk mencegah pertumpahan darah lebih lanjut," katanya.
Ia menyebut ada dua macam pendekatan dialog yang dilakukan para pemimpin agama di Papua saat ini, yakni secara eksternal dan internal. "Dalam dialog eksternal, pengembangan SDM Papua didorong melalui upaya membangun perdamaian dan menciptakan stabilitas keamanan melalui tiga pilar yaitu tokoh adat, pemerintah, dan gereja," katanya.
Sementara secara internal, Yanuarius terus menggandeng persekutuan gereja-gereja Papua dengan agama-agama lain. Tujuannya untuk bersama berusaha menciptakan perdamaian di tanah Papua. Ia berharap, dialog yang dilakukan dalam suasana saling menghormati akan sangat signifikan memajukan upaya untuk mempromosikan perdamaian di Asia Tenggara dan Indonesia, termasuk Papua.
Editor : Sabar Subekti
Konsumsi Ikan Bantu Cegah Stunting
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokter spesialis gizi klinik Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohus...