PBNU Kaji Deradikalisasi Berbasis Agama
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktorat Ketahanan Ekonomi, Sosial, dan Budaya Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementrian Dalam Negeri (Kemendragi) bersama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar forum diskusi faktual dengan tema “Deradikalisasi Berbasis Agama” di Lantai 5 Gedung PBNU, hari Rabu (23/3). Acara tersebut diadakan untuk merespon dan mencegah tindakan-tindakan radikalisme dan terorisme.
“Silaturahmi ini akan dilakukan rutin setiap bulan secara bergilir (di kantor-kantor Organisasi Masyarakat Agama). Pertemuan kedua ini diadakan di PBNU,” kata Budi Prasetyo, Sekretariat Jenderal Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri.
Ia berharap bahwa diskusi rutin ini bisa mendorong kepada para tokoh agama untuk ikut serta dalam menanggulangi dan mencegah aksi-aksi radikalisme dan terorisme.
“Tentu pemerintah tidak bisa berjalan sendiri (dalam mencegah radikalisme dan terorisme). Maka dari itu, kita ingin membangun sinergitas dengan para tokoh agama,” kata dia.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBNU HA Helmy Faisal Zaini mengaku senang dan mengapresiasi acara diskusi tersebut. Menurutnya, upaya untuk merumuskan formula pencegahan radikalisme dan terorisme harus terus-menerus disempurnakan, agar tindakan radikal tersebut bisa dibendung sedini mungkin.
“Usulan kita kepada pemerintah adalah adanya upaya yang lebih tegas (terhadap gerakan radikal tersebut). Menurut saya ada beberapa kelompok agama yang hubungannya belum selesai dengan negara,” kata dia.
Helmy mengatakan bahwa tarik-ulur hubungan antara agama dan negara masih terjadi di Indonesia. Lebih lanjut, ia mengutip pendapat Gus Dur terkait dengan tiga cara pandang hubungan antara agama dan negara yang berkembang.
“Pertama, universalistik. Ia menilai bahwa cara pandang pertama ini memiliki pendapat bahwa antara agama dan negara itu sesuatu yang sama. Tidak perlu dibeda-bedakan,” kata dia seperti dikutip dari nu.or.id.
Kedua, pandangan yang bersifat sekularistik. Ia menjelaskan bahwa cara pandang kedua ini meletakkan agama dan negara itu tidak ada sangkut-pautnya dan keduanya berdiri sendiri-sendiri.
“Dan terakhir adalah simbiotik. Yaitu (cara pandang) yang meletakkan agama dan negara secara harmoni dan berkesuaian sebagaimana Islam yang berkembang di Indonesia,” kata dia.
Selain dihadiri oleh 13 Organisasi Masyarakat Agama seperti Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Persis (Persatuan Islam), LPOI (Lembaga Persaudaraan Umat Islam), KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), dan lainnya, acara ini juga dihadiri oleh Budi Prasetyo (Sekretariat Jenderal Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri), Irfan Idris (Direktur Deradikalisasi BNPT), dan Arif Poerboyo Moekiyat (Deputi Menkopolhukam Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa).
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...