Pdt Em Kuntadi Sumadikarya Berpulang
SATUHARAPAN.COM – “Telah berpulang kekasih Yesus Kristus, Pdt Em Kuntadi Sumadikarya pada pukul 20.49 di RS Dharmais…”
Berita itu tersebar cepat melalui media sosial, sepanjang malam Senin, 17 September 2018. Sebagian besar tahu, atau mendengar, Pdt Kuntadi sudah lama menderita sakit, namun berita ia berpulang tetap saja mengagetkan.
Pdt Kuntadi pulang kepangkuan Bapa di Surga pada saat banyak orang masih memerlukan sumbangsih pemikirannya. Sepanjang masa pelayanannya, ia menjadi tempat bertanya, bukan hanya di lingkungan Gereja Kristen Indonesia (GKI), tempat ia melayani hingga akhir hayatnya, namun juga kalangan lain di luar gereja, termasuk wartawan.
Beberapa mengungkapkan rasa duka cita dengan menambahkan kata-kata, “GKI kehilangan”. “Kuntadi, sosok yang unik. Solitaire, tapi punya kepedulian yang dalam terhadap masalah kemanusiaan. Cerdas, tajam, tegas, rasional, tapi sekaligus juga arif, dalam, bijak, dan spiritual,” Pdt Sheph Davidy Jonazh, Ketua Umum BPMSW GKI SW Jabar kepada Satuharapan.com, mengenang sosok Pdt Em Kuntadi.
“Ia seorang pendeta pemikir, heavy reader, filosofis,” kata Sony W Antonio, Ketua Pojok Kerja Litbang Badan Pelayanan GKI Klasis Jakarta Selatan, “Sulit menggantikan beliau dalam hal kemampuan membaca dan mencernanya. Sungguh kehilangan besar.”
Terhitung 35 tahun melayani di lingkungan GKI, pada 16 Januari 2012, Pdt Kun menjalani masa emeritasinya, pensiun secara struktural. Kebaktian emeritasi yang berlangsung di Auditorium Ukrida Kampus II, Jakarta, dihadiri ratusan pendeta di lingkungan GKI, dua pendeta dari Uniting Church Australia, jemaat, dan keluarga.
Namun, bukan berarti ia berhenti berkarya. Ia tetap meneruskan karya pelayanannya.
Menerjemahkan Buku untuk Menambah Uang Saku
Kuntadi Sumadikarya dilahirkan di Jakarta, 3 November 1949, dengan nama Pang Koen Po. Ia Ketua Umum BPMSW GKI Sinode Wilayah Jawa Barat tiga periode, 2000-2003, 2003-2007, dan 2007-2011. Selama masa kepemimpinannya ia memprakarsai pendirian Tim Gerakan Kemanusiaan Indonesia – Sinode GKI pada 2005. Ia sering turun tangan mewujudkan kepedulian kepada sesama yang menderita, terjun dalam kegiatan penanganan bencana, dari Nanggroe Aceh Darussalam hingga Papua.
Mengutip dari Suara Pembaruan, 19 Januari 2012, bakat kepemimpinannya terlihat sejak remaja, tatkala aktif di kegiatan pemuda gereja dan paduan suara. Di tengah-tengah kondisi keterbatasan keuangan sepeninggal ayah yang meninggal karena stroke, dan kakek yang membesarkannya karena serangan jatung, tak pernah pupus harapan Kuntadi untuk bisa mengecap pendidikan tinggi.
Berbekal beasiswa dari KPS/BPK Penabur Jakarta, ia masuk Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta. Ia tercatat sebagai Ketua Dewan Mahasiswa, periode 1972-1973.
Kuntadi gemar membaca dan menulis. Untuk menambah uang saku, ia menerima pekerjaan menerjemahkan buku. Di antaranya Story of My Life, biografi jenderal Israel bermata satu Moshe Dayan, buku Mengajar di Sekolah Minggu (terbitan BPK Gunung Mulia), novel-novel roman karya Barbara Cartland, novel-novel detektif, buku nonfiksi, dan sebagainya.
Kuntadi, yang mempersunting Indriani Kurniadi, dokter dan dosen Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana, ditahbiskan menjadi pendeta oleh almarhum Pdt Dr Eka Darmaputera pada 14 Juli 1977. Pasangan itu dikaruniai dua anak, dr Adelin Anastasha dan Yonas Aristo. Pada tahun 1991, Kuntadi meraih gelar master teologi dari The South East Asia Graduate School of Theology, Filipina.
Satu hal yang menjadi refleksinya di kelak kemudian hari, seperti dituliskan dalam ”Biografi – Kilasan Refleksi: Lebih daripada Sekadar Remah-remah” yang dibagikan dalam acara emeritasinya, Kuntadi belajar tak pernah menjadi rendah diri. Ia sangat sadar Tuhan memberinya cukup talenta untuk berpikir, bergumul, beraktivitas, di tengah kekurangan.
Kata-kata mutiara dari Pendeta Norman Vincent Peale menjadi pegangan hidupnya, ”Jika kamu punya jeruk yang asam, jangan dibuang, tambahkan sirup dan es, maka kamu akan menikmati lemon squash yang nikmat.”
Mengabarkan Secara Terbuka
Walau sudah banyak yang mengetahui, Pdt Kuntadi secara terbuka “mengabarkan” sakitnya ketika menulis obituari Robert Robianto, Ketua Umum Yayasan BPK Penabur, yang berpulang penggal akhir Januari 2018.
“Januari 2017 ‘giliran’ saya terdeteksi CA. Saya berprinsip ‘jangan dibesuk-besuk, jangan ditanya-tanya, disaran-saran, disebar-sebar’. Hanya kalangan terbatas yang tahu…” demikian ia menulis.
“Baru pada Syukuran 40 Tahun Kependetaan dan Syukuran 40 Tahun Pernikahan, saya bercerita tentang hal tersebut di hadapan rekan-rekan pendeta serta para sahabat. Juga di hadapan kekerabatan istri saya, Keluarga Besar Lie. Dalam dua forum itu, saya berjaga-jaga dan mengucapkan ‘Farewell guys…’”
Dalam kesakitannya, kehidupan spiritualitasnya tak meluntur. ”…Sebaliknya kami berdua tak pernah berkata CA ini datang dari Tuhan. Saya meyakini hal-hal buruk bukan datang dari Tuhan. Sebagai makhluk ciptaan badan dan hidup kita tidak sempurna. Hanya Tuhan yang sempurna! Oleh karena itu sewaktu-waktu badan dan hidup kita dapat mengalami error.” (*)
Editor : Sotyati
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...