Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta 2016 Ditutup
Mewujudkan City of Tolerance di Yogyakarta
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Setelah berlangsung lima hari, bertempat di panggung utama Kampung Ketandan, Senin (22/2) malam Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY). Acara penutupan dimeriahkan pertunjukan dari berbagai elemen masyarakat di Yogyakarta serta penyerahan hadiah dan piala kepada juara Mendongeng dalam Bahasa Mandarin.
SD Budi Utama Yogyakarta menampilkan tarian 1000 Hands of Buddha yang mendapat sambutan meriah dari penonton. Sanggar Sultan Syarif Qasyim mementaskan teatrikal Tari Deg Ho dengan iringan isntrumen Melayu yang bercerita tentang bencana kabut asap di Sumatera akibat pembakaran lahan yang telah menyebabkan penderitaan setiap musim kemarau selama bertahun-tahun di wilayah Riau dan sekitarnya.
Setelah sambutan penutupan, Sanggar Tari Natya Lakshita pimpinan Didik Nini Thowok menampilkan tarian Shio Monyet Api oleh lima penari dan 3 Diva JCACC (Jogja Chinese Art and Culture Center)
Yogyakarta, Salad Bowl perkembangan budaya
Dalam sambutan penutupan yang dibacakan Asisten Perekonomian dan Pembangunan Gatot Saptadi, Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwana X mengatakan bahwa selama ini etnis Tionghoa telah turut membentuk budaya di wilayah Yogyakarta dalam banyak hal. Akulturasi-asimilasi berbagai budaya termasuk budaya masyarakat Tionghoa sudah lama berjalan secara alamiah di Yogyakarta.
Adanya pelarangan berbagai event budaya Tionghoa oleh pemerintahan di masa lalu, secara langsung berpengaruh pada generasi muda Tionghoa seolah tercerabut dari budaya asalnya. Pencabutan larangan perayaan Imlek pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid disertai dengan kebijakan lainnya telah banyak membawa perubahan bagi perkembangan budaya Tionghoa di Indonesia. Indikatornya adalah keberanian masyarakat Tionghoa terutama dalam mengekspresikan seni-budayanya di panggung pertunjukan
Lebih lanjut Sri Sultan Hamengku Buwana X berpesan agar gelaran PBTY tidak hanya sebatas seremoni, namun makna dan filosofinya dapat tersampaikan sehingga budaya maupun adat-istiadat Tionghoa dapat diterima sebagai bagian budaya yang berkembang di masyarakat serta memberikan banyak warna.
Setelah membacakan sambutan Gubernur DIY, Gatot Saptadi menutup PBTY dengan memukul gendang bersama perwakilan keempat belas paguyuban masyarakat Tionghoa di wilayah Yogyakarta.
Wilayah Yogyakarta dengan beragam etnis/suku, budaya, agama, yang tumbuh dan berkembang saling menghargai dan tanpa saling menghilangkan adalah upaya untuk mewujudkan city of tolerance di wilayah Yogyakarta yang kaya rasa-warna. Ibarat kebhinnekaan dalam budaya, masing-masing unsur memiliki kontribusi secara khas. Hilangnya salah satu unsur akan menjadikan hidangan kebinnekaan budaya menjadi berkurang rasanya (cemplang). Yogyakarta adalah salad bowl bagi tumbuhnya berbagai unsur budaya, yang jika digabungkan dalam warna aslinya tanpa saling menghilangkan, sesungguhnya merupakan kebutuhan dalam bermasyarakat-bernegara.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...