Pelajaran Nyetir Mobil
Saya berterima kasih kepada Bapak yang janjinya nggantung.
SATUHARAPAN.COM – Bapak pulang menghadap Tuhan 12 tahun silam dengan meninggalkan utang janji kepada saya. Bapak pernah berjanji mengajari saya nyetir mobil saat saya masih berumur tujuh tahun. Saya menjajal duduk di belakang setir Si Kebo Ijo—jeep ijo lumut kesayangan Bapak—dan Bapak berkata, ”Ya suk yen kowe wes gedhe, Bapak ajari nyetir. Saiki durung wancine, kowe durung gaduk.” Ya besok kalau kamu sudah besar, Bapak ajari nyetir. Sekarang belum waktunya, kamu belum nyampe (kaki belum nyampe untuk menginjak trio rem, kopling, dan gas).
Dua puluh tahun berselang, saya teringat janji Bapak di antara dua perasaan: gela ’kecewa’ sekaligus lega. Saya gela karena tidak bisa menagih janji Bapak, janji tinggal janji, Si Kebo Ijo sudah ganti pemilik. Saya hanya akan bisa nyetir mobil kalau saya belajar sendiri atau ikut kursus setir, tetapi intinya bukan diajari Bapak. Namun, perasaan gela itu tidak penting.
Setidaknya saya punya tiga alasan penting untuk merasa lega, alasan yang baru saya resapi lama setelah kepulangan Bapak. Pertama, saya baru menyadari bahwa Bapak saya adalah seorang laki-laki yang menjunjung kesetaraan gender. Beliau mengiyakan saya saat saya merengek diajari nyetir mobil, jeep sekali pun. Bapak tidak pernah bilang, ”Tidak boleh, kamu anak perempuan.”
Kelegaan kedua saya dapati dari kata kunci yang dikatakan Bapak ”Durung wancine” dan “Kowe durung gaduk.” Bagi Bapak, saya diizinkan belajar apa saja, asal dilakukan pada waktu yang tepat. Belajar pada momen yang tepat saya kira bukan soal belajar nyetir mobil semata, ini berlaku untuk semua mata pelajaran kehidupan. Belajar harus dalam keadaan siap, sadar, matang, tidak boleh diburu-buru, tidak boleh terpaksa. Karena jika tidak, belajar yang tidak pas justru membahayakan, pelajaran tidak tercerna dengan baik dan bisa-bisa Si Murid jadi depresi dan gurunya yang mesti menanggung beban moral.
Hal ketiga yang saya tarik dari janji Bapak yang tidak terlaksana adalah mengenali diri sendiri untuk tahu kapan saatnya saya belajar ini atau belajar itu. Menentukan sesuatu sudah tepat untuk dipelajari adalah keputusan aktif yang dilahirkan dari pikiran dan nurani yang benar-benar mengenali diri sendiri, tidak karena iming-iming atau intimidasi dari pihak luar. Saya sendiri sebagai pribadi diharap proaktif dan mandiri, kemauan belajar wajib berasal dari diri sendiri, tidak bergantung pada orang lain.
Baik saya berterima kasih kepada Bapak yang janjinya nggantung. Kalau dahulu tertunaikan, pelajaran dari pelajaran nyetir mobil bisa jadi tidak seperti ini. Terima kasih Bapak!
Editor : Yoel M Indrasmoro
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...