Pelatih Harus Lakukan Pencegahan agar Atlet Tidak Doping
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Seorang pelatih di setiap cabang olahraga harus melakukan rangkaian langkah preventif atau pencegahan sehingga seorang atlet terhindar mengkonsumsi zat-zat yang dikhawatirkan mengandung zat adiktif atau doping dalam sebuah kompetisi.
“Sebenarnya kalau berbicara doping maka harus kita tinjau aspek preventif (pencegahan, Red), kuratifnya (penanganan, Red), dan rehabilitatif (pemulihan, Red). Apalagi kalau even (olahraga, Red) internasional, nah ketiga hal itu paling utama adalah preventif,” kata Kepala Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan Kesehatan Olahraga Nasional Kementerian Pemuda dan Olahraga (PP ITKON Kemenpora), dr. Fatimah Sp KO. kepada satuharapan.com.
Ia ditemui setelah mengikuti upacara Peringatan Hari Ulang Tahun ke-44 Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), hari Senin (30/11), di Gedung PP-ITKON Kemenpora, Lantai 1, Jl. Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta.
Fatimah menjelaskan bahwa pencegahan, yakni seorang pelatih harus mempersiapkan masa latihan seorang atlet agar tidak mudah cedera, dan kesehatan seorang atlet dari cabang olahraga apapun harus sehat dan bugar setiap saat.
“Karena kalau nantinya si atlet cedera, dikhawatirkan akan mengkonsumsi obat-obatan yang mengandung zat yang dapat menyembuhkan cedera, namun di sisi lain dikhawatirkan obat-obatan bisa dikategorikan doping. Maka yang utama adalah si atlet sedapat mungkin terhindar dari cedera, karena kalau sudah cedera kan susah urusannya bisa lama pengobatannya, dan lama perawatannya,” Fatimah menambahkan.
Tes Doping
Dalam kesempatan yang sama, di sela-sela perbincangan satuharapan.com dengan dr. Fatimah, Saiful Asrori, A.Md. Far, Asisten Apoteker PP ITKON menjelaskan tes doping dalam setiap kejuaraan cabang olahraga itu ada dua.
“Ada tes di dalam dan luar pertandingan, di luar pertandingan itu dilakukan satu atau dua minggu sebelum pertandingan dilakukan tes urin,” kata Saiful.
Saiful menjelaskan tes di luar pertandingan tersebut diselenggarakan dengan kerja sama antara Badan Anti Doping Dunia (WADA/World Anti Doping Agency) dengan badan anti doping dari seluruh negara peserta kejuaraan atau turnamen. Dalam tes di luar pertandingan tersebut ada delegasi WADA yang datang ke negara bersangkutan dan atlet yang akan bertanding dalam beberapa bulan akan dilakukan tes doping.
“Tes lainnya adalah di dalam pertandingan yang dilakukan kepada atlet setelah pertandingan,” Saiful menjelaskan.
Saiful menambahkan, setelah dari badan doping masing-masing negara peserta, maka sosialisasi tes doping akan dilakukan ke pengurus masing-masing cabang.
“Kalau dulu cuma tes urin sekarang ada tes darah, jadi mereka ambil sampel darah, karena kalau urin kan bisa dimanipulasi tapi kalau darah kan susah,” kata dia.
Saiful mengatakan di Indonesia saat ini belum dikembangkan untuk tes darah. “Kalau Korea (Korea Selatan, red) sudah menggunakan tes darah,” kata dia.
Saiful menjelaskan untuk tes darah di Indonesia ada keterbatasan alat namun dia memberi contoh negara tetangga yang melakukan tes darah harus meminjam jasa negara yang terdekat. “Seperti di Thailand, Malaysia itu sudah ada, kita harus mengacu ke negara lain jadi untuk tes darah kita belum,” kata dia.
Beberapa waktu lalu Guru Besar Ilmu Olahraga Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta, Prof. Dr. H.R. Abdulkadir Ateng, menilai bahwa tim Rusia yang terdiskualifikasi dari cabang atletik untuk Olimpiade 2016 merupakan sebuah tamparan bagi hubungan baik dan sportivitas dalam dunia olahraga.
“Doping itu tidak boleh buat kesehatan karena doping itu kan mencari kemenangan, dan kemenangan dalam ajang multi even itu memiliki nilai politik yang tinggi dalam hubungan dan prestise antar bangsa,” kata Abdulkadir Ateng kepada satuharapan.com beberapa saat setelah menjadi pemateri pada Seminar Pendidikan Jasmani dengan ‘Tema Pembenahan dan Pengembangan Pendidikan Jasmani dalam Rangka Mendukung Optimalisasi Prestasi Olahraga’, hari Kamis (26/11).
Doping sanksinya amat berat, menurut Ateng, karena doping membutuhkan biaya miliaran rupiah untuk menyelenggarakan satu kali tes doping di ajang olahraga tertentu. Sanksi yang diterapkan kepada atlet atau kontingen yang terbukti positif doping berbeda-beda tergantung cabang olahraga yang ditekuni sang atlet.
Skandal Doping Atletik Rusia
Asosiasi Federasi Atletik Internasional (IAAF), pada hari Jumat (14/11) menghukum Rusia dengan membekukan partisipasi negara itu dalam berbagai pertandingan atletik dunia karena adanya dugaan doping yang disponsor negara.
IAAF menggelar pemungutan suara dengan hasil suara 22 banding 1 mendukung diterapkannya sanksi sementara terhadap Rusia. Sanksi tersebut mencakup larangan terhadap tim atletik lapangan Rusia berlaga dalam Olimpiade di Rio de Janeiro tahun 2016.
Apa saja obat atau suplemen yang termasuk doping? Pada tahun 2004–seperti diberitakan LIFE satuharapan.com beberapa waktu lalu–WADA (Badan Anti Doping Dunia) telah mengeluarkan daftar obat yang masuk kategori doping. Ada delapan kategori sebagai berikut, dan beberapa di antaranya adalah narkoba :
1. Stimulan.
2.Narkotik Analgesik.
3.Cannabinoids.
4. Anabolic Agents.
5.Peptides Hormones.
6.Beta-2 Agonists.
7.Masking Agents.
8.Glucocorticosteroids.
Ikuti berita kami di Facebook
Editor : Eben E. Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...