Pelecehan Sering Terjadi di Kamp Imigran
DUNKERQUE, SATUHARAPAN.COM – Pelecehan seksual, penyerangan, kekerasan, dan tindakan perkosaan merupakan tindakan yang sering terjadi di kawasan pengungsian di Dunkerque, Prancis.
Anak-anak dan perempuan diserang dan diperkosa oleh pedagang di dalam kamp pengungsi di Dunkerque, di sebelah utara Prancis. Di kawasan tersebut seorang imigran yang sering berjalan sendirian dipandang sebagai pihak yang menjadi sasaran empuk, demikian menurut relawan, petugas medis, pengungsi, dan pejabat keamanan diwawancarai oleh Observer dan diungkapkan lagi Russian Today.
“Serangan seksual, kekerasan dan pemerkosaan semua adalah hal yang biasa terjadi,” kata salah satu koordinator relawan perempuan kepada The Observer tanpa disebut namanya.
“Anak di bawah umur mengalami penganiayaan, sementara itu perempuan diperkosa dan harta dirampas,” kata narasumber tersebut.
Narasumber menuturkan di pintu tempat pemandian umum biasanya terdapat kunci, namun ternyata situasi sangat berbahaya bila perempuan mandi di malam hari, karena ada beberapa imigran perempuan yang mandi di malam hari dan mengalami pelecehan seksual, karena ada sejumlah oknum yang berhasil mengambil kunci kamar mandi tersebut.
Kebutuhan Imigran
Dia mengatakan popok dewasa adalah salah satu logistik yang paling diminta untuk didistribusikan kepada perempuan di Dunkerque. Di kawasan tersebut menampung lebih kurang 2.000 pengungsi, di kawasan tersebut terdapat lebih dari ratusan anak-anak yang mendapat pengawasan. “Perempuan merasa takut pergi ke toilet di malam hari,” kata dia.
Relawan lain, yang juga tidak ingin disebut namanya, mengatakan anak-anak yang berusia di bawah umur juga mengalami penyerangan.
“Seorang gadis 12 tahun di kamp tersebut mengalami pelecehan seksual oleh pria yang berusia dua kali lebih tua dari usianya. Seorang anak 13 tahun akhirnya kembali ke negara asalnya setelah diperkosa di kamp itu,” menurut narasumber tersebut.
Pada hari Rabu (8/2), Menteri Dalam Negeri Amber Rudd mengumumkan mengakhiri Undang Undang yang diciptakan di bawah pemerintahan politikus Partai Buruh Inggris, Alfred Baron Dubs, atau Lord Dubs yang merancang membiarkan anak-anak imigran masuk ke Inggris tanpa pendamping dari orang tua atau yang dipercaya. “Itu sama saja artinya dengan perdagangan manusia,” kata Rudd.
Lord Dubs merupakan mantan imigran. Dia mengungkapkan beberapa waktu lalu bahwa aturan tersebut diciptakan bertujuan membantu lebih dari 90.000 anak-anak migran yang tidak memiliki pendampingan orang tua seluruh Eropa, tetapi hanya 350 anak-anak yang benar-benar dibawa ke Britania Raya.
“Inggris memiliki sejarah bangga menyambut pengungsi. Pada saat Donald Trump melarang pengungsi dari Amerika Serikat, maka jika Inggris sampai melakukan langkah yang sama maka hal tersebut adalah kebijakan yang memalukan,” kata Dubs. (rt.com)
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...