Pembubaran Pertemuan Keluarga Korban 1965 Dikutuk Keras
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pertemuan keluarga korban 1965 di di Godean Sleman, Yogyakarta, pada hari Minggu (27/10) dibubarkan Front Anti Komunis Indonesia (FAKI). Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mengutuk keras pembubaran itu. Elsam juga menyayangkan sikap kepolisian yang tidak memberikan perlindungan memadai bagi para korban, untuk menggunakan hak berkumpul mereka, sebagai bagian dari hak konstitusional warga negara.
Sikap aparat penegak hukum ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Bila terus berlangsung berarti diam-diam menyetujui kekerasan kelompok sipil dalam membungkam kebebasan warga negara dalam melaksanakan hak berkumpul dan berekspresi yang dijamin Konstitusi. Peristiwa ini menambah daftar panjang kegagalan institusi kepolisian untuk menempatkan diri sebagai pelindung hak asasi warga negara di hadapan kekuatan organisasi massa yang menjustifikasi kekerasan setelah kasus-kasus serupa. Seperti penyerangan diskusi buku Irshad Manji, dan pelbagai kasus lain. Pembiaraan aksi sepihak dengan kekerasan akan terus menjadi penanda gagalnya fungsi penegak hukum dalam melindungi hak asasi warga negara.
Di tengah mandegnya upaya negara dalam penyelesaian pelanggaran kejahatan hak azasi manusia (HAM) masa lalu, termasuk diantaranya peristiwa 1965, justru mendapat represi dan ancaman. Rencana pertemuan para korban 1965 dan keluarganya dari Jawa Tengah yang berlangsung di Yogyakarta untuk membahas usaha pemberdayaan ekonomi bagi para korban digagalkan aksi sepihak FAKI dengan cara- cara kekerasan. Padahal selama ini para korban peristiwa 1965 dan keturunannya masih terus mengalami diskriminasi dan stigma yang menjauhkannya dari akses untuk memperoleh penghidupan yang layak sebagai warga negara dan menempatkan mereka dalam kemiskinan. Peran negara untuk memulihkan hak-hak korban juga sampai hari ini tak kunjung dilakukan.
Program pemberdayaan ekonomi yang dilakukan para korban melalui berbagai macam usaha, seperti simpan pinjam, peternakan, pertanian, pembuatan pupuk, dan lain-lain. Dalam konteks itu pertemuan para korban 1965 dan keluarganya digelar. Selain sebagai ruang silaturahim para korban, saling memberdayakan satu sama lain, acara tersebut juga dimaksudkan untuk membicarakan kelanjutan dan rencana pengembangan program pemberdayaan ekonomi. Tetapi inisiatif ini digagalkan sekelompok orang yang mengaku anti ideologi komunis secara ilegal. Padahal pertemuan itu sendiri, tidak ada kaitan sama sekali dengan ideologi komunis.
Situasi ini memperburuk kondisi kebebasan sipil di Daerah Istimewa Yogyakarta dan menjadi semakin paradoks bagi wilayah yang dikenal toleran ini. Oleh karena itu Elsam melalui Direktur Eksekutif Indriaswati D. Saptaningrum mendesak kepolisian segera memproses secara hukum para penyerang yang membubarkan pertemuan tersebut dan mengakibatkan setidaknya lima orang terluka. Juga menyerukan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta memastikan perlindungan hak konstitusional bagi seluruh kelompok yang hidup di Yogyakarta dan menekan aksi-aksi pemaksaan dari kelompok intoleran yang kian memperburuk citra Yogyakarta sebagai wilayah yang toleran.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...