Pemerintah Akan Bangun Pabrik Minyak Sawit Mini Berbasis Koperasi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Pemerintah membahas hilirisasi produk kelapa sawit, antara lain usulan tentang pembentukan pembangunan pabrik minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan minyak makan merah (red palm oil/RPO) mini berbasis koperasi.
Upaya tersebut dilakukan sebagai salah satu solusi untuk menyerap tandan buah segar (TBS) dari petani sawit yang terkadang sulit dijual, harganya rendah, atau petani tidak punya teknologi untuk mengolah sawitnya menjadi CPO dan RPO.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop-UKM), Teten Masduki, dalam keterangannya selepas mengikuti rapat terbatas yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Senin, 18 Juli 2022.
“Pak Presiden tadi sudah menyetujui untuk pembangunan pabrik minyak makan merah berbasis koperasi. Ini saya kira akan menjadi solusi karena 35 persen produksi sawit atau CPO ini berasal dari petani mandiri, petani swadaya,” katanya.
Teten menambahkan, kalau dilihat dari luas lahannya inmi untuk sekitar 41 persen lebih. “Jadi ini cukup. Saya kira ini juga solusi bagi distribusi minyak makan untuk suplai minyak makan ke masyarakat, karena minyak makan merah ini sudah diketahui sehat, kandungan proteinnya tinggi, kandungan vitamin A-nya tinggi,” kata Teten.
Teten menjelaskan, saat ini teknologi produksi untuk minyak makan merah sudah dirancang oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Kota Medan. Teten berharap PPKS dapat segera membuat detail engineering design (DED) sehingga mesin tersebut bisa segera diproduksi untuk menjadi proyek pilot.
“Nanti kita akan putuskan (pilotnya di mana), tapi salah satunya tentu Sumatra, Kalimantan, tapi ada koperasi-koperasi yang juga secara keuangan mereka bisa membangun sendiri, dan koperasi ini punya anggota cukup besar dan anggotanya juga UMKM. Saya optimistis minyak makan merah ini, karena sehat dan juga bisa lebih murah, ini bisa diterima oleh pasar,” kata Teten.
Diusulkan kepada Presiden Jokowi agar pada Januari 2023 pembangunan pabrik CPO dan RPO berbasis koperasi ini sudah dimulai. Teten menargetkan PPKS bisa menyelesaikan DED-nya paling lambat pada Agustus 2022 mendatang. Apabila telah selesai maka bisa langsung masuk ke tahap produksi dengan melibatkan BUMN maupun swasta.
Satu pabrik CPO dan RPO mini membutuhkan investasi sebesar Rp 23 miliar dengan return of investment (ROI) 4,3 tahun. Menurut Teten, investasi tersebut untuk produksi sebanyak 10 ton minyak makan merah per hari.
Investasinya bisa diintegrasikan dengan working capital, dengan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) dengan bunga lima persen. Untuk mesinnya bisa dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dan untuk pengembangan sawit di on-farm bisa dengan skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Himbara.
“Jadi, dalam model kami koperasi membeli tunai sawitnya, TBS-nya dari petani, sehingga si petani itu tidak lagi dipusingkan harus menjual sawitnya ke mana. Lalu koperasi mengolahnya menjadi CPO dan menjadi RPO, dan kemudian mereka pasarkan. Kalau ini terintegrasi dengan program (pengurangan) stunting, PTPN menjadi offtaker, selain petani bisa menjual sendiri,” katanya.
Untuk mencapai target produksi 10 ton per hari, Teten menjelaskan bahwa sawit yang dibutuhkan sekitar 50 ton per hari atau panen dari lahan seluas 1.000 hektare. Untuk itu, pemerintah menargetkan agar setiap 1.000 hektare lahan sawit ada satu pabrik CPO dan RPO mini ini.
“Sebenarna, sekarang sudah ada beberapa koperasi petani sawit yang luasan lahannya di atas 1.000 hektare. Ini sudah siap, baik yang di Sumatra Utara, Riau, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan. Tapi Pak Presiden sekali lagi minta piloting dulu,” kata Teten.
Dijelaskan, kebijakan ini merupakan upaya yang dilakukan pemerintah sebagai solusi atas dua hal, yakni stabilitas harga TBS petani dan suplai minyak goreng. Teten berharap dengan adanya pabrik CPO dan RPO berbasis koperasi, kesejahteraan petani sawit bisa membaik.
“Ini optimalisasi hilirasi sawit rakyat yang selama ini mereka jual sawitnya ke industri. Mereka selalu ada problem dengan harga TBS yang tidak stabil, atau mereka terlambat diserap itu susut 20 persen semalam, sehingga petani dirugikan. Kalau sekarang petani mengolahnya sendiri dengan punya pabrik pengolahan CPO dan RPO, saya kira nilai tukar petani akan baik, kesejahteraan petani akan lebih baik,” katanya.
Editor : Sabar Subekti
KPK Tetapkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, Tersangka Kasus...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal PDI Perju...