Pemerintah Pakistan Akan Kontrol Menyeluruh Penggunaan Media Sosial
UU yang diajukan pemerintah dinilai akan menekan kebebasan berbicara.
ISLAMABAD, SATUHARAPAN.COM-Oposisi Pakistan mengatakan pada hari Kamis (23/1) bahwa pemerintah berusaha untuk lebih menekan kebebasan berbicara sehari setelah mengusulkan kontrol menyeluruh pada media sosial yang dapat mencakup pemblokiran platform dan memenjarakan pengguna karena menyebarkan disinformasi.
Undang-undang Pencegahan Kejahatan Elektronik, yang diperkenalkan di Majelis Nasional oleh Menteri Hukum, Azam Nazeer Tarar, pada hari Rabu (22/1), akan membentuk badan dengan kewenangan untuk memerintahkan "konten yang melanggar hukum dan menyinggung" diblokir dari media sosial, dan untuk melarang individu dan organisasi dari media sosial.
Platform media sosial akan diharuskan untuk mendaftar ke Otoritas Perlindungan dan Regulasi Media Sosial yang baru, dan mereka yang gagal mematuhi undang-undang tersebut dapat menghadapi larangan sementara atau permanen.
Undang-undang tersebut juga menjadikan penyebaran disinformasi sebagai tindak pidana, yang dapat dihukum dengan tiga tahun penjara dan denda dua juta rupee (US$7.150).
Langkah tersebut dilakukan hampir setahun setelah Pakistan memblokir platform X menjelang pemilihan umum yang menurut partai oposisi mantan Perdana Menteri, Imran Khan, yang dipenjara telah dicurangi. X masih diblokir di negara tersebut, meskipun banyak orang menggunakan jaringan pribadi virtual untuk mengaksesnya, seperti di negara lain dengan kontrol internet yang ketat.
Khan memiliki banyak pengikut di media sosial, terutama X, tempat para pendukungnya sering menyebarkan tuntutan agar ia dibebaskan. Khan telah berada di balik jeruji besi sejak 2023, saat ia ditangkap karena korupsi. Partai Khan juga menggunakan media sosial untuk mengorganisir demonstrasi.
Pemimpin oposisi mengecam undang-undang yang diusulkan, dengan mengatakan undang-undang itu ditujukan untuk lebih menekan kebebasan berbicara. Omar Ayub Khan, yang tidak memiliki hubungan dengan mantan perdana menteri yang dipenjara, mengatakan RUU itu dapat "meletakkan dasar untuk menekan suara-suara yang mengadvokasi hak-hak konstitusional".
Badan baru itu akan dapat memerintahkan pemblokiran segera konten yang melanggar hukum yang menargetkan hakim, angkatan bersenjata, parlemen, atau majelis provinsi. Undang-undang itu juga melarang pengunggahan pernyataan dari parlemen yang telah dihapus dari catatan.
Media Pakistan telah menghadapi sensor yang semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Para jurnalis mengatakan mereka menghadapi tekanan negara untuk tidak menggunakan nama Imran Khan, dan sebagian besar stasiun TV mulai menyebutnya hanya sebagai "pendiri partai PTI".
Pembela hak asasi manusia dan serikat jurnalis telah berjanji untuk menentang undang-undang tersebut, tetapi dengan pemerintah yang memegang mayoritas suara, pengesahannya hampir pasti.
Afzal Butt, presiden Serikat Jurnalis Federal, mengatakan undang-undang tersebut merupakan upaya untuk menekan media, media sosial, dan jurnalis.
Pemerintah mengatakan undang-undang tersebut diperlukan untuk membatasi penyebaran disinformasi. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Buntut Keluarnya AS, WHO Pangkas Biaya, Atur Ulang Prioritas...
JENEWA, SATUHARAPAN.COM-Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan memangkas biaya dan meninjau program k...