Pemerintah: RUU KUHP-KUHAP Tidak Hilangkan Kewenangan KPK
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah menegaskan, penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) sama sekali tidak bermaksud mengebiri atau menghilangkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyusunan kedua RUU tersebut atas dasar sistem hukum nasional dan memperhatikan HAM yang universal.
“RUU KUHP merupakan upaya rekodifikasi hukum pidana sehingga seluruh asas hukum pidana berlaku untuk semua tindak pidana baik yang diatur di dalam KUHP maupun di luar KUHP,” Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Amir Syamsudin melalui siaran persnya Jumat (21/2).
Dengan berlakunya KUHP baru, lanjut Amir, Undang-Undang di luar KUHP bukan berarti menjadi tidak berlaku karena Undang-Undang di luar KUHP merupakan lex specialis. Hal ini secara jelas telah diatur dalam Pasal 757 dan Pasal 758 RUU KUHP.
“Dengan demikian, RUU KUHP tidak mengeliminasi eksistensi Undang-Undang di luar KUHP dan tidak mendelegitimasi keberadaan lembaga penegak hukum (seperti KPK),” jelas Amir Syamsudin.
Menkumham menegaskan, RUU KUHP dan RUU KUHAP merupakan lex generalis sehingga tidak menghilangkan kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dan hukum acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang merupakan lex specialis.
Terkait dengan penghapusan penyelidikan dalam RUU KUHAP, menurut Menkumham, hal ini diserahkan kepada setiap institusi yang telah ditentukan dalam undang-undang masing-masing, misalnya Pasal 43 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Selain itu, tindakan penyelidikan merupakan tindakan yang dilakukan secara diam-diam (tindakan keintelijenan) yang bersifat undercover yang cukup diatur di dalam SOP.
Adapun terkait dengan masa penahanan, Menkumham Amir Syamsudin menjelaskan, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai dengan kasasi hanya mempunyai perbedaan 41 hari antara RUU KUHAP dan KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981).
“Masa penahanan dalam RUU KUHAP berjumlah 360 hari, sedangkan dalam KUHAP berjumlah 401 hari. Pembatasan mengenai jumlah masa penahanan disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR yang berlaku secara universal,” papar Amir.
Sementara mengenai justice collaborator dan whistle blower, Menkumham Amir Syamsudin menjelaskan, pada dasarnya sama dengan saksi mahkota (Pasal 200 RUU KUHAP). Ia menyampaikan, untuk melengkapi ketentuan tersebut, dalam RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah disebutkan justice collaborator dan whistle blower.
Sedang mengenai penyadapan, menurut Menkumham, dapat diartikan bahwa Pasal 3 ayat (2) RUU KUHAP memberikan keleluasaan kepada undang-undang di luar KUHAP mengatur hukum acaranya masing-masing. “Dengan ketentuan tersebut, KPK dapat melakukan penyadapan tanpa meminta izin kepada pengadilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002,” tegasnya.
Mengenai putusan MA yang tidak boleh melebihi putusan pengadilan di bawahnya, menurut Air Syamsudin, hal ini didasarkan pada kewenangan MA itu sendiri yang hanya memeriksa penerapan hukum dari judex jurist (lihat Pasal 250 ayat (3) RUU KUHAP).
Persetujuan DPR
Menkumham Amir Syamsudin mengemukakan, proses penyusunan RUU tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) telah dilakukan oleh Panitia Penyusunan RUU KUHAP sejak tahun 1999 sampai dengan 2006.
Setelah melalui berbagai kegiatan, dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor PPE.693.PP.01.02 Tahun 2011 telah dibentuk Tim Persiapan Pembahasan RUU KUHAP yang salah satu anggotanya adalah Chandra M. Hamzah (pada saat itu sebagai Pimpinan KPK), dan dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor M.HH-01.PP.01.02 Tahun 2011 dibentuk Tim Persiapan Pembahasan RUU KUHP.
RUU KUHAP dan RUU KUHP tersebut, lalu disampaikan kepada Presiden pada 6 Desember 2012. Selanjutnya, RUU KUHAP dan RUU KUHP disampaikan Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) melalui surat nomor R-87/Pres/12/2012 dan surat nomor R-88/Pres/12/2012 tanggal 11 Desember 2012.
Saat ini, lanjut Menkumham Amir Syamsudin, pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP di DPR telah masuk pada tahap panitia kerja yang membahas substansi berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
Terkait dengan adanya usulan penarikan kedua RUU tersebut, Menkumham Amir Syamsudin menegaskan, berdasarkan ketentuan Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur bahwa RUU yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden.
“Dengan demikian terhadap RUU KUHAP dan RUU KUHP yang sedang dibahas di Komisi III DPR RI tidak mungkin secara sepihak dapat ditarik oleh Presiden tanpa persetujuan DPR,” tegas Amir Syamsudin. (setkab.go.id)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...