Pemerintah Terbitkan Perpres tentang Penguatan Moderasi Beragama
Penguatan moderasi beragama menjadi mandat pada semua kementerian dan lembaga negara dari pusat hingga daerah.
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama pada 25 September 2023.
Dengan begitu, penguatan moderasi beragama aman menjadi mandat pada semua kementerian dan lembaga negara, pusat hingga daerah, bukan hanya Kementerian Agama, kata Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Kemenag), Amin Suyitno, dalam Forum Tematik Badan Koordinasi Kehumasan (Bakohumas) di Jakarta, hari Jumat (10/11).
Menurut Suyitno, ada tiga hal yang perlu diimplementasikan untuk mengawal perpres tersebut. Pertama, pembentukan Sekretariat Bersama Moderasi Beragama. "Regulasi mengamanatkan Menteri Agama sebagai Ketua Sekretariat Bersama Moderasi Beragama," kata Amin Suyitno.
"Kedua, memastikan semua kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan pemerintah provinsi dapat mengkoordinasi, memantau, mengevaluasi, melaporkan capaian dan mempublikasikan penguatan moderasi beragama.”
Ketiga, Kemenag sedang merancang Peraturan Menteri Agama (PMA) yang mengatur secara teknis apa saja yang akan dikoordinasikan, dipantau, dievaluasi, serta dilaporkan terkait penguatan moderasi beragama di setiap kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan pemerintah provinsi.
“Kami telah menyusun panduan monitoring Moderasi Beragama untuk seluruh lembaga pemerintah sebagai acuan dalam melakukan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan atau implementasi Moderasi Beragama. Panduan ini menjadi acuan dalam pelaksanaan yang nantinya menjadi pedoman dalam evaluasi kinerja kita dalam mewujudkan masyarakat yang bermartabat, adil, makmur berlandaskan pada prinsip-prinsip moderat dalam beragama,” kata Amin.
Turut hadir, Tim Pokja Moderasi Beragama sekaligus Menteri Agama Periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin, Kepala Biro Humas Data dan Informasi Kemenag Akhmad Fauzin, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo Usman Kansong, dan Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Wawan Djunaedi.
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo, Usman Kansong, yang hadir pada acara itu, menyebut pentingnya komitmen, kolaborasi dan bersinergi dalam membangun strategi komunikasi publik yang baik agar Perpres penguatan moderasi beragama tersebut dapat diterima, dipahami, dan dijalankan oleh seluruh pejabat, aparatur sipil negara dan seluruh warga negara Indonesia.
“Kemenkominfo dalam kurun waktu satu bulan saja, Juli sampai Agustus 2023, telah men-take down 174 konten di media sosial yang berbau radikalisme. Beredarnya konten hoax dan ujaran kebencian, serta langkanya kontra narasi untuk meluruskan konten-konten yang tidak baik tersebut dapat memicu iklim perpecahan. Apalagi di masa menjelang pemilu atau masa pemilu nanti,” kata Usman.
“Kita semua menginginkan ruang publik yang inklusif, informasi yang berkualitas, dan rasa aman dalam menjalankan agama, serta kepercayaan masing-masing tanpa khawatir terhadap perbedaan dan keragaman. Kekosongan pesan moderasi atau keterbatasan pesan moderasi di beragam media sosial ataupun media utama menjadi tugas kita semua,” katanya.
Bukan Memoderasi Agama
Tim Pokja Moderasi Beragama (juga menjabat Menteri Agama periode 2014-2019), Lukman Hakim Saifuddin, menyebut bahwa yang perlu dimoderasi bukan agamanya, tapi cara kita memahami dan mengamalkan ajaran agama.
“Kenapa perlu dimoderasi, karena paham keagamaan itu beragam, tafsirnya beragam, serta amalannya pun beragam. Jadi jika ada perbedaan tafsir ayat kitab suci itu biasa. Paham keagamaan tidak ada yang tunggal, spektrumnya tidak terhingga, namun tetap perlu ada batasan. Yang melampaui batas atau ekstrem inilah yang perlu dihindari,” katanya.
Lantas, bagaimana batasan moderat dan ekstrem? Menurut pria yang akrab disapa LHS ini, perlu dipahami dulu bahwa ajaran agama secara sederhana bisa dipilah menjadi dua bagian. Pertama, ajarannya yang universal. Kedua, ajaran yang partikular. "Ajaran universal akan diyakini kebenarannya di setiap agama yang ada di dunia, tiada keraguan di dalamnya. Contohnya, menebar kasih sayang, menghindari kerusakan, menebar kemaslahatan," kata LHS.
"Ajaran yang partikular itu yang berbeda-beda pemahamannya. Misal, saat subuh itu pake qunut apa enggak,” katanya.
LHS menjelaskan, praktik dan ajaran agama dikatakan ekstrem atau moderat itu dilihat dari ajaran universalnya, apakah melanggar atau tidak. Keragaman di bidang partikular itu perlu disikapi dengan toleransi, namun penyelewengan dari ajaran yang universal itulah yang dikatakan ekstrem. “Moderasi beragama sangat konsen pada ajaran agama yang universal ini, tidak boleh diingkari dengan alasan apapun juga. Ketika sudah mengingkari, maka disebut ekstrem atau berlebih-lebihan,” katanya.
LHS membagi penyebab ekstrim menjadi dua. Pertama, pemahaman agama yang hanya terpaku kepada teks semata tanpa melihat konteksnya. Kedua, terlalu bebas dalam menyikapi teks-teks keagamaan, terlalu mendewakan akal dan nalar sehingga jadi melenceng atau liberal.
"Moderasi ingin membawa kembali ke tengah, dua kutub ekstrem dalam menyikapi teks ini," kata LHS.
Editor : Sabar Subekti
Pemerhati Lingkungan Tolak Kekah Keluar Natuna
NATUNA, SATUHARAPAN.COM - Pemerhati Lingkungan di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau (Kepri) menolak h...