Pemerintah Wajib Jamin Hak Rakyat Atas Pemenuhan Air Bersih
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Pada Juli 2010, Pemerintah Indonesia menandatangani resolusi PBB tentang pemenuhan hak atas air bersih. Keikutsertaan pemerintah dalam menandatangani resolusi tersebut, secara otomatis, memberikan kewajiban kepada pemerintah untuk menjamin pemenuhan kualitas dan kuantitas terhadap air dan pencemaran terhadap sanitasi.
Pemerintah berupaya untuk mewujudkan misi tersebut, salah satunya, dengan mencanangkan ketersediaan 100 persen air bersih bagi masyarakat. Beberapa kalangan menilai pencanangan tersebut merupakan misi ambisius. Pasalnya, pada kenyataanya, hingga akhir 2015, Kementerian ESDM merilis data bahwa pemerintah hanya mampu menyediakan 68,9 persen air bersih.
Uraian di atas menjadi salah satu wacana yang tersaji dalam talkshow yang mengangkat tema “Peran Pemerintah Dalam Perlindungan dan Pemenuhan Hak Air Serta Terwujudnya Masyarakat Peduli Terhadap Lingkungan” pada Sabtu (12/12). Talkshow yang diselenggarakan oleh Klinik Advokasi dan Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Kaham UII) di Pusdiklat Kemendagri itu menampilkan tiga narasumber, yaitu Hudori, ST MT (akademisi dan aktivis lingkungan hidup), Agus Setiono (Badan Lingkungan Hidup Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta [BLH DIY], dan Halik Sandera (Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia/Walhi Yogyakarta).
“PDAM seharusnya menjadi perusahaan air, tetapi realitanya hanya mampu menyediakan air bersih atau air mandi, bahkan angin doang karena banyak pipa PDAM, seperti di Kabupaten Gunung Kidul, yang tidak dialiri air bersih,” demikian disampaikan oleh Hudori.
Menurut Hudori, proyek yang mencanangkan bahwa pada 2019 seluruh masyarakat Indonesia 100 persen telah terpenuhi haknya atas air bersih, adalah proyek ambisius. Hal ini terlihat hingga akhir tahun 2015, target pemenuhan hak atas air bagi rakyat masih belum tercapai. Di sisi lain, PDAM yang diharapkan menjadi aktor untuk pemenuhan hak tersebut, mayoritas tercatat mengalami kerugian, sehingga sulit untuk berkembang.
“Banyak faktor yang menjadi penghambat proyek ambisus tersebut, misalnya untuk PDAM saja sering mengalami kendala untuk menambah jaringan pelanggan. Di sisi lain, kualitas air semakin memburuk dan cadangan air semakin berkurang,” ujar Hudori.
Halik Sandera sebagai Direktur Walhi Yogyakarta menambahkan bahwa kesulitan lain yang dimiliki oleh PDAM adalah kompetisi dengan banyak pemilik bangunan dalam hal pemanfaatan air. Seperti diketahui, bahwa di Yogyakarta pembangunan sedang masif berjalan. Hal ini secara langsung berdampak pada ketersediaan air.
“PDAM yang sering bilang rugi semakin terbebani karena ketersediaan air bersih di Jogja juga dimanfaatkan oleh hotel dan aparteman. Masifnya pembangunan mall, hotel, dan apartemen inilah yang menyebabkan adanya kompetisi untuk mendapatkan air bagi PDAM untuk pemenuhan di dunia usaha dengan masyarakat,” kata pria yang akrab disapa Cepot ini.
Menanggapi adanya kompetisi pemanfaatan air tersebut, Agus Setiono dari BLH DIY memaparkan konsep untuk memanen air hujan. Menurut Agus, perusahaan kini didorong untuk membuat penampungan-penampungan air hujan yang dipergunakan untuk persediaan air bersih.
“Kami mendorong perusahaan-perusahaan untuk memanfaatkan air hujan. Perusahaan-perusahaan yang bisa memanfaatkan air hujan kami beri penghargaan,” Agus menjelaskan.
Di sisi lain, BLH juga mendorong bagi perusahaan untuk memanfaatkan air limbah untuk diolah dan dipakai kembali. Jika cara untuk memanen air hujan dan mengolah limbah ini dapat terealisasi bagi perusahaan-perusahaan, maka kompetisi perebutan air dapat direduksi. Namun, upaya tersebut perlu mendapat payung hukum atau regulasi yang jelas, dan yang lebih penting adalah, pengawasan yang menyeluruh dari pihak-pihak yang berwenang.
Editor : Sotyati
Tentara Ukraina Fokus Tahan Laju Rusia dan Bersiap Hadapi Ba...
KHARKIV-UKRAINA, SATUHARAPAN.COM-Keempat pesawat nirawak itu dirancang untuk membawa bom, tetapi seb...