Pemilu Malaysia Diwarnai Protes dan Kekerasan
SATUHARAPAN.COM - Rakyat Malaysia akan bersama-sama menunaikan tanggungjawabnya sebagai warganegara untuk memilih kandidat-kandidat yang akan mewakili suara mereka melalui pemilu ke 13 ini. Pemilu (PRU-13) yang akan memperlihatkan pertarungan bagi merebut kerusi Dewan Rakyat (Parlimen) dan Dewan Undangan Negeri (DUN) ini akan berlangsung pada tanggal 5 Mei 2013. Banyak pengamat memprediksikan bahwa peta kekuatan antara Barisan Nasion (BN) dan Partai Oposi (Pakatan Rakyat) seimbangn. Dengan kata lain Pemilu kali ini berpontensi untuk mengahiri hegemoni BN yang sudah berlangsung 50 tahun.
Pemilu di Malayasi kali ini juga ditandai dengan perbedaan perbedaan yang cukup signifikan dengan Pemilu sebelumnya. Misanya pembubaran Parlemen Malaysia tidak pernah diketahui oleh rakyat dan sudah melebihi 5 tahun. Selain itu Pemilu kali ini juga ditandai dengan berbagai peraturan seperti pelarangan untuk menarik pencalonan, pemberitahuan hari pemungutan kepada aparat kemanan seperti Tentera Diraja Malaysia dan Polisi Diraja Malalaysia (PDRM) dan perpanjangan masa kampanye yang melampui dua minggu. Banyak pihak seperti Kelompok yang memperjuangkan terlaksananya Pemilu yang Adil & Bersih yang menuntut reformasi sistem Pemilu di Malaysia menghawatirkan terjadinya kecurangan yang memberikan keuantungan kepada BN.
Berbagai protes dan advokasi dari LSM yang menuntut Pemilu yang fair terus berlangsung menjelang hari Pemilu tiba. Berbagai isu yang menjadi sorotan adalah pemberian KTP kepada warga asing hingga kemungkinan adanya pemilih siluman (phantom voters) menjadi isu yang juga menjadi sasaran kritik dari pihak barisan oposisi yang terdiri dari Partai Islam Se-Malaysia (PAS), partai yang yang didominasi oleh mayoritas etnik Cina Democratic Action Party (DAP) dan partai yang dipimpin oleh Anwar Ibrahim , Partai Keadilan Rakyat (PKR).
Ancaman kekerasan
Selain berbagai persoalan yang muncul, Pemilu di Malaysia juga dicemari oleh berbagai insiden kekerasan horizontal yang melibatkan para pendukung fanatik dari partai berkuasan dan partai oposisi pada saat berlangsungnya masa kampanye. Kekerasan politik di Malaysia sudah seperti tradisi yang berlangsung menjelang diadakannya Pemilu setiap lima tahun.
Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi adalah konflik atau perkelahian antar pendukung partai pada saat kampanye, perusakan dan pembakaran atribut dan harta benda milik partai, penyerangan terhadap fasilitas-fasilitas gedung dan tempat tinggal tokoh partai dan terjadinya ledakan-ledakan kecil di berbagai tempat. Beberapa contoh kekerasan yang terjadi misalnya pembakaran dua mobil milik anak kandidat partai PKR, Sri Andalas Xavier Jayakumar, pada 26 April lalu. Insiden berlaku di kediamannya di Klang, Selangor. Malangnya, ketika kejadian itu belaku, beliau tidak berada di,rumah karena sedang mengikuti ayahnya berkampanye.
Ledakan kecil pada saat terjadinya kampanye Barisan Nasional di Nibong Tebal di Pulau Penang tanggal 23 April lalu turut memperkeruh situasi. Bom yang berdaya ledak kecil ini diletakkan di bawah kotak sampah di dekat kantor koalisi partai penguasa Barisan Nasional. Akibat letusan ini, seorang pengawal keamanan mengalami luka ringan. Pada waktu yang sama, sebuah bom bensin turut dilemparkan di kantor gerakan BN di Sekinchan, Selangor. Bom mini ini diduga untuk melakukan sabotase politik. Sayangnya pelaku bom ini belum diketahui.
Menurut Nurul Izzah, anak tokoh Oposisi dan juga ketua Partai Keadilan Rakyat Anwar Ibrahim, insiden kekerasan yang mencemari kampanye politik sebenarnya sudah berlaku sejak tahun lalu. Namun sekarang meningkat menjelang Pemilu ke-13.
Ketidaknetralan Aparat Keamanan
Tudingan dialamatkan kepada PDRM yang selain gagal dalam memberikan keamanan juga dianggap telah berpihak kepada partai penguasa, Barisan Nasional. Ketidaknetralan polisi dapat dilihat dalam penanganan demonstrasi BERSIH yang diwarnai kekerasan kepada pihak demonstran.
Demonstrasi yang diadakan di Kuala Lumpur tanggal 9 Juli tahun lalu sebagaimana yang digambarkan oleh sebagian pihak adalah merupakan demonstrasi yang paling besar dalam sejarah demonstrasi di Malaysia. Polisi yang mengambil sikap berkonfrontasi terhadap para demonstran dan menimbulkan insiden kekerasan. Demonstrasi yang semestinya berlangsung aman, akhirnya rusuh dengan kehadiran aparat keamanan sendiri.
Sebuah LSM yang bergerak di bidang hak azasi manusia (Suruhanjaya Hak Asasi Manusia / SUHAKAM), mengakui kekerasan tersebut, dan polisi melakukan kekerasan terhadap Media. Sikap tidak netral PDRM ini menurunkan kredibilitas aparat kemanan di mata rakyat Malaysia.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh firma riset, Merdeka Center, misalnya mengungkapkan lebih dari 56 persen mempercayai pendapat pakar politik daripada PDRM. Hal ini menjadi tugas berat bagi PDRM untuk mengembalikan kepercayaan rakyat kepada Polisi. Salah satunya adalah kemampuan PDRM untuk menunjukkan sikap yang netral kepada seluruh rakyat yang harus dilindungi, bukan hanya masyarakat yang menjadi pendukung partai penguasa. Dengan kata lain, PDRM harus menunjukkan bahwa mereka bukan merupakan alat politik salah satu partai atau kekuatan politik tertentu.
Dalam situasi seperti itu, Pemilu kali ini akan menghadapkan Malaysia dalam banyak masalah dalam politik dan pemerintahan, siapapun pemenangnya. Kekerasan dan fanatisme yang terjadi dalam pemilu kali ini bisa menjadi kerikil-kerikil dalam sepatu yang akan mengganggu perjalanan demokratisasi di negara itu.
Bagaimana hasil pemilu, akan ditentukan hari Minggu (5/5) ini, termasuk bagaimana rakyat dan dengan merdeka menggunakan hak suara mereka serta penghitungan hasil pemilu yang fair. Tapi apakah hal itu bisa terjadi?
Editor : Sabar Subekti
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...