Pemilu Maroko: Persaingan Monarki dan Partai Islamis
RABAT, SATUHARAPAN.COM - Maroko menyelenggarakan pemilihan umum parlemen pada hari Jumat (7/10). Ini Pemilu pertama sejak sejak pemerintah dipimpin Partai Islamis, setelah pemberontakan Musim Semi Arab pada 2011.
Partai Keadilan dan Pembangunan (PJD) yang Islamis berkuasa pada 2011 setelah protes yang menuntut konsesi dari Raja Mohammed VI, keturunan dari monarki yang telah memerintah negara di Afrika Utara itu selama 350 tahun.
Sebuah konstitusi baru disusun dan mengurangi kekuasaan mutlak raja. Abdelillah Benkirane dari PJD menjabat sebagai perdana menteri. Dia mengharapkan mendapatkan masa jabatan kedua yang akan memungkinkan untuk melanjutkan reformasi ekonomi dan sosial.
Dengan koalisi yang mencakup partai komunis, liberal dan konservatif, dia masih mendapatkan dukungan yang cukup besar di kalangan kelas menengah perkotaan. Namun menurut laporan AFP, pemerintahannya dilemahkan oleh meningkatnya pengangguran dan kritik atas kegagalan menangani korupsi.
Skandal di PJD
PJD menghadapi serangkaian skandal dalam jajarannya termasuk perdagangan obat terlarang, kesepakatan perampasan tanah secara licik dan penangguhan dua wakil presiden yang diketahui terlibat dalam skandal seks di pantai.
Partai ini menghadapi kebangkitan kembali kelompok oposisi liberal dan PAM (Authenticity and Modernity Party) yang terbentuk pada tahun 2008 oleh seorang penasihat dekat raja.
PAM berkampanye mengkritik pemerintah dan memberi catatan sebagai "bencana" dan berjanji untuk memutar kembali upaya islamisasi di masyarakat.
PAM memposisikan sebagai pembela hak-hak perempuan dan adat istiadat sosial liberal, dan bertujuan untuk menempatkan lebih banyak perempuan di parlemen yang selama ini hanya 67 dari 395 kursi.
Pengaruh Raja Mohammed VI
Sementara itu, PJD menuduh rivalnya sebagai partai istana, bagian dari bayangan "negara paralel" yang mengendalikan kehidupan politik.
PJD jika menang akan mencoba untuk mendapatkan lebih banyak ruang di monarki untuk pengambilan keputusan bersama. Sebab, pengaruh yang menentukan di Maroko masih tetap di tangan Raja Mohammed VI, terlepas siapa yang di pemerintahan.
"Raja adalah de facto pembuat keputusan eksklusif pada kebijakan jangka panjang dan hal-hal strategis," termasuk kebijakan luar negeri dan projek-projek infrastruktur besar, menurut analisis dari Carnegie Endowment for International Peace di Washington.
Sebelumnya, raja bisa memilih perdana menteri, tapi karena perubahan konstitusi, dia harus menunjuk seseorang dari partai yang memenangkan kursi terbanyak di parlemen.
Kebangkitan Kelompok Salafi
Namun Pemilu hari Jumat bisa jadi juga menandai kembalinya kelompok Salafi dan pengikut mereka dari Islam Sunni ultra-konservatif ke arena politik.
Hanya ada beberapa puluh calon dari Salafi di antara 7.000 kandidat dalam pemilihan hari Jumat, tetapi kemunculan kembali mereka merupakan pergeseran penting di negara itu, di mana mereka pernah tersingkir.
Menurut AFP, di antara mereka termasuk Abdelwahab Rafiki, juga dikenal sebagai Abou Hafs, mantan ulama yang dihukum 30 tahun penjara setelah serangan jihad di Casablanca pada tahun 2003. Serangan itu menewaskan 45 orang. Dia diampuni pada tahun 2012 dan bergabung dengan Partai Istiqlal, sebuah partai nasionalis.
Pemboman di Casablanca mendorong pemerintah untuk menangkap sekitar 8.000 orang, kebanyakan dari mereka adalah anggota kelompok Salafi. Namun kebanyakan dari mereka juga diampuni setelah revolusi 2011, dan memperoleh peluang berpolitik sejak itu.
Kelompok Salafi Maroko juga banyak yang berangkat menuju ke Afghanistan pada 1990-an untuk melawan Uni Soviet. Saat ini, banyak yang telah meninggalkan kekerasan dan menyatakan kesetiaan kepada Raja Mohammed VI.
Editor : Sabar Subekti
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...