Pemimpin Agama Berjanji Layani Umat Agama Lain dan Orang Tak Beriman
Pertemuan AFI diselenggarakan di Roma, dihadiri 25 pemimpin agama dari 16 negara, termasuk Indonesia.
VATICAN CITY, SATUHARAPAN.COM-Para pmimpin agama anggota AFI berjanji untuk melayani juga mereka umat beragama lain dan yang tidak beriman dan mengecam mereka yang menggunakan nama Tuhan, atau ajaran-ajaran agama Abrahamik untuk menghasut pertumpahan darah atau menindas orang lain.
Pernyataan itu dihasilkan dari sebuah pertemuan dari perwakilan agama-agama berlangsung pekan ini (14-16/1) di Universitas Kepausan Gregorian di Roma. Pertemuan bertujuan untuk mempromosikan perdamaian dan persaudaraan.
Kelompok Inisiatif Iman Abrahamic (The Abrahamic Faiths Initiative /AFI) menyatukan dalam pertemuan itu 25 pemimpin agama yang mewakili jutaan umat Kristen, Muslim, dan Yahudi. Mereka termasuk Kardinal Miguel Ángel Ayuso Guixot, Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama; Shaykh Abdallah Bin Bayyah, Presiden Forum untuk Mempromosikan Perdamaian di Masyarakat Muslim; Riccardo di Segni, kepala rabi Roma; dan Patriark Ortodoks Yunani Theophilos III dari Yerusalem dan seluruh Palestina. Dari Indonesia hadir Sekjen PB NU, Yahya Cholil Stacuf.
Pertemuan AFI, yang diselenggarakan oleh Multi-Faith Neighbors Network, dibangun di atas warisan dokumen yang mempromosikan upaya berbagai agama untuk menghindari pertumpahan darah dan model perdamaian. Hal itu termasuk Deklarasi Marrakesh Tahun 2016 tentang Hak-Hak Minoritas di Negara-negara Mayoritas Muslim, serta Deklarasi Washington dan penggantinya Piagam untuk Aliansi Kebajikan Baru, yang ditandatangani pada 2019 oleh para pemimpin agama dunia.
Para peserta pada acara tersebut bertemu dengan Paus Fransiskus pada hari Rabu (15/1) dan dalam pernyataan akhir mereka mengutip Dokumen tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama, yang ditandatangani pada Februari tahun lalu oleh imam besar Al-Azhar, Ahmed el-Tayeb, di Uni Emirat Arab.
Mempertimbangkan Implikasi Agama
Menurut Sam Brownback yang diwawancarai RNS, banyak upaya penciptaan perdamaian gagal, karena mereka tidak mempertimbangkan implikasi keagamaan dari inisiatif mereka. Dia adalah duta besar AS untuk kebebasan beragama, yang juga hadir pada pertemuan itu.
"Saya pikir dunia menangis untuk gerakan ini," kata Brownback, hari Kamis (16/1), dan menambahkan bahwa meskipun dunia mungkin tidak ingin berbicara tentang agama, masalah ini tidak dapat diabaikan.
“Jika kita melibatkan aktor-aktor religius 30 tahun yang lalu dalam negosiasi dan diskusi perdamaian Timur Tengah, mengatakan ‘OK, ini yang sedang kita pikirkan, bagaimana menurutmu? Bantu kami membangun kedamaian,' kami mungkin ada di suatu tempat hari ini," katanya. "Kami masih tidak memiliki kedamaian di Timur Tengah dan prospeknya tidak terlihat bagus."
Brownback menggarisbawahi bahwa umat Kristen, Muslim dan Yahudi semuanya berasal dari Abraham, menciptakan komunalitas yang dapat dibangun di atasnya. “Saya hanya berpikir orang-orang yang akan memecah-belah telah keluar di depan orang-orang yang akan bersatu. Banyak yang harus kami lakukan," katanya.
"Seperti yang dikatakan Paus Fransiskus kepada kita, fokus kita seharusnya pada bagaimana membangun persaudaraan, yang berarti ikatan persahabatan," kata Rabi David Rosen, direktur internasional urusan antaragama Komite Yahudi Amerika dan direktur Institut Heilbrunn AJC untuk Pemahaman Antaragama.
Pesan persaudaraan Paus Fransiskus, yang digambarkan Rosen sebagai "luar biasa, terutama datang dari seorang pemimpin agama Katolik," telah mengumpulkan banyak tekanan dari kalangan Katolik konservatif yang melihatnya sebagai mempermudah kepercayaan agama untuk kepentingan politik. Tetapi fokus pada tindakan praktis, bukan dogma, adalah kunci untuk membawa hasil yang langgeng, menurut Rosen.
Dimensi Keagamaan
Selama audiensi dengan Paus, para pemimpin agama mempresentasikan beberapa tindakan bersama, dari menciptakan jaringan agensi keagamaan untuk mengatasi imigrasi atau memerangi kemiskinan, hingga membentuk delegasi simbolis untuk model kolaborasi terhormat di daerah konflik.
Jauh dari menjadi faktor penyebab konflik dan kekerasan, agama sangat penting untuk menciptakan perdamaian yang abadi dan bermakna, kata Rosen, menambahkan bahwa pertemuan Roma "berpotensi menjadi bersejarah" dengan menyatukan ranah agama, politik dan diplomatik, yang sejauh ini telah terlihat "beberapa keterasingan timbal balik."
"Berbicara tentang Yerusalem, saya pikir para pemimpin telah mengabaikan dimensi keagamaan, yang merupakan bagian dari masalah," katanya. “Jika Anda hanya menangani konflik semata-mata berdasarkan wilayah, sebagai real estate, bahkan jika masalahnya adalah real estate, itu tidak cukup, karena ada hal-hal tak berwujud di sana yang berhubungan dengan keterikatan historis bersejarah dan identitas spiritual orang.
"Itu adalah sesuatu yang belum dipahami para politisi, jadi mungkin ini adalah cara untuk membuka pintu bagi pemahaman itu," tambahnya.
Utusan Indonesia
Utusan Indonsia, yang disebut sebagai negara multikultural dan yang memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, Yahya Cholil Staquf, menyampaikan pengalaman tentang membangun perdamaian dan harmoni di antara agama-agama.
"Dengan semua yang berkembang secara global, kami melihat semua jenis ancaman terhadap keharmonisan masyarakat kami," katanya kepada RNS. "jadi tidak ada pilihan bagi kami untuk juga terlibat secara global."
Staquf adalah sekretaris jenderal organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama, yang menghitung 90 juta penganutnya, meskipun ada yang mengidentifikasi sebanyak 110 juta anggota.
"Sekarang pilihannya adalah untuk rakyat," katanya. "Apakah kita ingin agama kita tetap menjadi bagian dari masalah atau kita ingin mengaktifkan potensi mulia dalam tradisi kita untuk menjadi bagian dari solusi?"
Editor : Sabar Subekti
Tentara Ukraina Fokus Tahan Laju Rusia dan Bersiap Hadapi Ba...
KHARKIV-UKRAINA, SATUHARAPAN.COM-Keempat pesawat nirawak itu dirancang untuk membawa bom, tetapi seb...