Pemimpin Agama di Bekasi Sepakat Tingkatkan Kerukunan
BOGOR, SATUHARAPAN.COM - Sebanyak 72 peserta yang berasal dari pimpinan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan dan Tokoh Lintas Agama Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi mengikuti acara Seminar Peningkatan Kualitas Kehidupan Beragama (KUB) 2013. Acara ini diselenggarakan Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi di Grand Cempaka Resort & Convection, pada Senin hingga Selasa (23/24) September di Cipayung Bogor.
Tujuan: Meningkatkan Kerukunan Antarumat Beragama
Menurut ketua panitia, Santi Supryati, diselenggarakannya acara seminar selama dua hari ini guna meningkatkan kerukunan dan persatuan antarumat beragama di kota Bekasi.
”Tujuan, satu, meningkatkan kerukunan antarumat beragama di kota Bekasi. Dua, meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa kota Bekasi. Tiga, mewujudkan kota Bekasi insani,” kata Santi Supryati dalam sambutan pembukaan seminar yang mengusung tema: Kita Tingkatkan Nilai-nilai Keagamaan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
Senada dengan ketua panitia itu, Kepala Badan Kesbangpolinmas Kota Bekasi, Radi Mahdi menegaskan kembali bahwa tujuan diselenggarakan seminar KUB ini sebagai langkah dan peran pemerintah daerah (Pemda) Kota Bekasi guna mengayomi dan melindungi masyarakat Kota Bekasi untuk menjaga kerukunan Nasional.
”Untuk melindungi masyarakat, menjaga persatuan dan kesatuan, dan kerukunan Nasional, serta keutuhan kesatuan negara Republik Indonesia. Ini merupakan implementasi dari UU nomor 32 tahun 2004, pasal 22 huruf (a) tentang otonomi daerah,” kata Radi Mahdi dalam sambutan peresmian acara seminar sekitar pukul 09.30 WIB.
Masalah Sampang
Dalam acara seminar Kesbangpolinmas Kota Bekasi tahun ini, sejumlah narasumber menyampaikan bahan presentasi mereka, baik terkait peran pemerintah pusat dan pemda setempat dalam menjaga kerukunan beragama maupun isu konflik horizontal, hingga terkait perizinan pembangunan rumah ibadah.
Menurut Kasubbid Litbang Hubungan Antarumat Beragama Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), Akmal Salim Ruhana mengatakan bahwa selama ini peranan pemerintah pusat dalam penanganan konflik lokal telah berdampak secara nasional, oleh karena saling bekerja sama dengan pemda setempat.
”Pemerintah pusat memberikan topangan regulasi. Dalam konteks otonomi daerah, pemda itu lebih sektor dalam penanganan permasalahan-permasalahan di tingkat masyarakat. Ini merujuk dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2004 pasal 22 tentang Otonomi Daerah,” kata Akmal Salim Ruhana.
Selanjutnya Akmal mencontohkan kasus konflik di Sampang Madura, bahwa pemerintah pusat turut terlibat dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat untuk mengatasi masalah horizontal. ”Forum pelaksana pertama rekonsiliasi adalah pemprov dan pemkot Sampang. Mereka membuat pemetaan penyelesaian rekonsiliasi dan integrasi pascakonflik Sampang. Kami terlibat dari pusat,” kata Kasubbid Litbang Hubungan Antarumat Beragama Kemenag RI itu.
Sementara itu, Dekan Fakultas Komunikasi Sastra dan Bahasa Universitas Islam “45” Bekasi, Andi Sopandi menilai bahwa kota Bekasi sebagai daerah urban dengan jumlah penduduk sekitar 2,5 juta jiwa memiliki kompleksitas permasalahan yang tinggi. Menurut dia, di satu sisi menjadikan keberagaman penduduk semakin memperkuat integrasi masyarakat di suatu wilayah, namun di sisi lainnya keberagaman disikapi dengan penuh kewaspadaan (kecurigaan) yang justru berpotensi menimbulkan permasalahan atau konflik horizontal.
Kondisi Sosiologis Bekasi
Berdasarkan tinjauan sosiologis tentang kehidupan keagamaan di Kota Bekasi, Andi Sopandi membagi empat karakteristik wilayah masyarakat beragama, yaitu: wilayah perkampungan, pusat kegiatan Ekonomi atau bisnis, perumahan, dan kombinasi wilayah (perpaduan antara perkampungan dengan pusat bisnis). Menurut Andi Sopandi, pada empat karakteristik wilayah itu masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan, serta tantangan dan peluang dalam pola pembinaan kerukunan beragama masyarakat kota Bekasi.
”Daerah perkampungan memiliki potensi tinggi apabila masuknya pengaruh lain. Tetapi untuk terjadinya rebellion (pemberontakan) masih dapat dikendalikan karena otoritas keagamaan atau kharisma ketokohan atau faktor latar belakang sejarah yang panjang justru dapat meminimalisir konflik,” kata Dekan yang menjabat sebagai konsultan di beberapa departemen pemerintahan Bekasi itu.
Pemkot Bekasi: Penutupan Masjid Ahmadiyah Agar Kerukunan Terjaga
Selanjutnya, dalam acara hari pertama itu, Senin (23/9), Asisten Administrasi Umum Sekretaris Daerah Agus Darma Wandi menyampaikan, bahwa peranan Pemerintah Daerah dalam Pengembangan Kehidupan Beragama di kota Bekasi turut berperan menciptakan suasana kehidupan beragama yang penuh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan YME. ”Hal itu sejalan guna mewujudkan kehidupan beragama yang dinamis baik intern maupun antarumat beragama, serta turut memajukan kesejahteraan masyarakat terutama melalui pendidikan agama dan pengembangan pada lembaga sosial keagamaan,” kata Agus Darma Wandi pada sesi presentasi malam hari.
Dalam kesempatan itu, Agus Darma Wandi sempat menyinggung salah satu kasus konflik di Pondok Gede. Menurut dia, pihaknya beralasan menggembok dan dipagarinya masjid Ahmadiyah dengan seng sebagai bentuk untuk menciptakan kerukunan dan mencegah tindakan kekerasan semakin meluas antarumat beragama. ”Itu yang kami lakukan, untuk mencegah bentrokan yang meluas,” kata mantan Lurah teladan Harapan Baru itu.
Sumber-sumber Konflik Versi Pemkot Bekasi
Disebutkan pula oleh Agus Darma Wandi bahwa sumber rawannya konflik antarumat beragama itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, konflik terjadi pada saat penyiaran suatu agama kepada penganut agama lain yang sudah beragama. Kedua, munculnya orang-orang yang menodai agama lain. ”Konflik terjadi pula ketika ada peringatan hari besar keagamaan. Adanya kegiatan aliran sempalan dan pendirian rumah ibadah yang tidak sesuai dengan aturan bersama,” kata dia.
Sebagai pedoman dalam penyiaran agama, Agus Darma Wandi mengimbau kepada para tokoh agama dan pimpinan ormas untuk memupuk rasa hormat-menghormati dan saling mempercayai antarumat beragama di kota Bekasi, salah satunya dengan menghindari perbuatan yang menyinggung perasaan agama lain.
”Jangan melakukan penyiaran kepada yang sudah beragama, baik dengan bujukan, rayuan atau tekanan. Selain itu, jangan memengaruhi orang yang sudah menganut agama yang lain, dengan datang ke rumah, janji, hasutan, dan ancaman,” ungkap Agus Darma Wandi.
Pada hari kedua, Selasa (24/9), sebagai pembicara terakhir seminar berkaitan dengan Peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam peningkatan kehidupan keagamaan di Kota Bekasi disampaikan oleh Sekretaris FKUB Kota Bekasi, Hasnul Kholid. Selain acara seminar, para peserta melakukan kegiatan olahraga dan outbound bersama yang diikuti oleh perwakilan Agama Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, Protestan, NU, Muhammdiyah dan FKUB yang terdiri dari tokoh agama dan lintas agama, LSM, serta Ormas dan Orsospol di kota Bekasi dan kabupaten Bekasi.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...