Pemimpin Agama di Sudan Selatan Ingin Paus Upayakan Perdamaian
VATIKAN, SATUHARAPAN.COM – Sejumlah pemimpin gereja dari Sudan Selatan mendesak Paus Fransiskus mengunjungi negaranya untuk mendukung terciptanya perdamaian di negara yang kini warganya sedang bertikai.
Diberitakan Vatican Radio, hari Rabu (2/11), dalam pertemuan dengan Paus Fransiskus di Roma, beberapa pemimpin gereja Katolik, Anglikan, dan Presbyterian membeberkan situasi terkini yang semakin memburuk di Sudan Selatan.
Uskup Agung Gereja Katolik Juba, Paulino Lukudu Loro, mengatakan kepada Paus Fransiskus: "Saat ini ada perang, ada pembunuhan, ada kematian, ada pengungsi, dan ada orang-orang di kamp-kamp di seluruh negeri."
“Paus Fransiskus menyatakan siap mengunjungi," kata Loro. Jika Bapa Suci datang ke negara termuda di dunia, kata dia, itu akan meningkatkan kesadaran situasi kemanusiaan dan keamanan yang semakin kritis.
"Bapa Suci dapat membantu kami berbicara dengan masyarakat internasional, untuk masyarakat daerah, dan pemerintah kita," kata uskup Juba.
Fransiskus Flood, perwakilan CAFOD (Catholic International Development Charity) dan Trocaire –organisasi pembangunan nirlaba yang dimiliki Catholic Church in Ireland atau gereja Katolik Irlandia– mengatakan Paus Fransiskus menerima dan menyambut mereka dengan hangat.
“Kami bekerja tidak mengenal lelah dengan mitra gereja lokal untuk mendapatkan bantuan darurat kepada masyarakat yang terkena dampak konflik, dalam kondisi yang sangat membutuhkan perhatian. Kunjungan tersebut diharapkan meningkatkan kemampuan pemimpin negara untuk bekerja mencapai perdamaian dan kemakmuran sehingga orang dapat kembali ke rumah mereka, sekolah, peternakan dan bisnis tahan lama,” kata Flood.
Di wilayah Yirol, CAFOD dan Trocaire memberi bantuan kepada lebih dari 4.800 orang berupa tepung jagung, kacang-kacangan, minyak goreng, garam, dan menyediakan air bersih untuk masyarakat dengan merehabilitasi sumur bor.
Sudan Selatan, yang memperoleh kemerdekaan pada Juli 2011, adalah negara termuda di dunia. Meskipun muncul harapan akan mendapat masa depan yang damai, konflik pecah pada Desember 2013 antara faksi-faksi yang setia kepada Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir dan mantan Wakil Presiden Sudan Selatan, Riek Machar.
Sebuah perjanjian perdamaian yang rapuh, yang ditandatangani pada bulan Agustus 2015, kini telah rusak, yang mengarah ke kantong pertempuran di seluruh negeri.
Ada kekhawatiran konflik yang terjadi di negara tersebut merupakan konflik bernuansa etnis. Pada tanggal 26 Oktober, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Zeid Ra'ad Al Hussein, memperingatkan kenaikan konflik masih dapat terjadi lewat pidato yang bernada kebencian, dan pidato yang menghasut untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok etnis tertentu, selain itu kerusuhan massal masih mungkin terjadi.
Selain Paulino Lukudu Loro, dalam kesempatan tersebut turut hadir, Uskup Agung dan Primate dari Gereja Episkopal Sudan Selatan dan Sudan Daniel Deng Bul, kemudian Moderator dari Gereja Presbiterian Sudan Selatan, Peter Gai Lual Marrow, Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Sudan Selatan, James Oyet Latansio, dan Penasehat Dewan Gereja Sudan Selatan, Ferdinand Von Hasbury. (radiovaticana.va)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...