Pemimpin KPK Tak Boleh Tergoda Harta, Takhta, dan Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak boleh tergoda dengan nafsu harta, takhta, dan wanita. Hal tersebut disampaikan Fadli guna menanggapi revisi atas Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK masuk dalam Proyeksi Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015.
“Pemimpin KPK harus selesai dengan dirinya, tak ada godaan nafsu harta, takhta, dan wanita. Kalau begitu, lebih baik tidak usah menjadi pemimpin KPK,” ujar Fadli di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (17/6).
Selain itu, dia mengungkapkan rencana revisi atas UU No 30/2002 tentang KPK bukan upaya pelemahan institusi KPK, melainkan untuk mengembalikan KPK pada fungsinya. “Ini bukan upaya pelemahan, karena dalam banyak hal KPK bisa lakukan banyak hal yang melanggar hak asasi manusia,” ujar Fadli.
“Misalnya, menyadap seorang seenaknya tanpa prosedur tetap. Jadi jangan ketika menjalankan tugasnya pemimpin KPK abuse of power,” politikus Partai Gerindra itu menambahkan.
Masuk Prolegnas
Pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) mengajukan revisi atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK masuk dalam Program Legislasi Nasional 2015.
“Undang-undang ini sudah masuk dalam long list Prolegnas 2015-2019 sebagai inisiatif DPR dan perlu didorong untuk dimajukan sebagai prioritas 2015,” kata Menkumham Yasonna H Laoly, di Ruang Rapat Badan Legislasi DPR RI, Gedung Nusantara I, Jakarta, Selasa (16/6).
Menurut dia, pelaksanaan UU tentang KPK masih menimbulkan masalah yang menyebabkan terganggunya upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sehingga, perlu dilakukan peninjauan terhadap beberapa ketentuan dalam upaya membangun negara yang bersih dan penguatan terhadap lembaga terkait dengan penyelesaian kasus korupsi yaitu kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
“Peninjauan itu terkait, pertama kewenangan penyadapan agar tidak menimbulkan pelanggaran HAM yaitu hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang telah diproses pro justita,” ujar dia.
Selanjutnya, menurut Yasonna, peninjauan terkait kewenangan penuntutan yang perlu disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan Agung. Peninjauan ketiga, terkait perlu dibentuknya dewan pengawas, dan keempat mengenai pengaturan terkait pelaksanaan tugas pemimpin jika berhalangan.
“Peninjauan kelima mengenai penguatan terhadap pengaturan kolektif kolegial,” kata dia.
Selain itu pemerintah juga mengusulkan penambahan Rancangan Undang-undang tentang Bea Meterai. Yasonna juga menjelaskan urgensi segera dibentuknya RUU tentang Bea Meterai untuk mengganti UU Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai yang dirasa tidak lagi sesuai dengan perkembangan di bidang ekonomi, sosial, teknologi.
“Dan perkembangan peraturan-peraturan lain terkait yang dirasa akan menghambat target pengoptimalan penerimaan negara dari sektor pajak untuk membiayai pembangunan nasional secara mandiri tahun 2016,” kata dia.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...