Pemimpin Kristen dan Muslim Menolak Ekstremisme Agama
JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Sejumlah pemuka umat Kristen dan Islam sepakat menolak anggapan bahwa agama menjadi landasan melakukan tindakan kekerasan atau ekstremisme, karena agama sesungguhnya berperan dalam mempromosikan perdamaian dan melawan kekerasan.
Dua hal tersebut, menurut oikoumene.org, hari Senin (3/10), dibahas dalam dialog yang berlangsung dua hari antara “Muslim Council of Elders” atau Dewan Sesepuh Muslim Dunia dan “World Council of Churches” (WCC) atau Dewan Gereja Dunia di Jenewa, Swiss dari 30 September-1 Oktober.
Dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh WCC tersebut melibatkan presentasi dan diskusi tentang berbagai aspek kunci perdamaian dan dialog antar agama, selain itu pertemuan tersebut membahas peperangan terhadap ekstremisme agama yang terjadi di berbagai bagian dunia.
Dialog dimulai dengan presentasi dari moderator Komite Sentral WCC, Agnes Abuom, dan Sekjen WCC, Olav Fykse Tveit. Abuom menjelaskan saat ini kepemimpinan agama, baik Kristen dan Muslim, perlu lebih mengarah dan lebih berani.
“Tanpa langsung mendukung serangan terhadap agama lain, ada beberapa kesempatan ketika pemimpin agama telah memberikan semacam persetujuan dengan kekerasan yang dilakukan pengikut mereka,” kata Abuom.
Tveit mengatakan dalam pertemuan tersebut bahwa dari Kitab Kejadian mengajarkan kepada umat Kristen bahwa pembunuhan dan pertumpahan darah adalah kegiatan yang dilarang karena manusia diciptakan menurut gambar Allah.
“Penempatan kata-kata ini di bab awal Kitab Suci adalah inti yang penting dari keyakinan kami bahwa agama tidak boleh digunakan membenarkan kekerasan,” kata Tveit.
Dia mengatakan saat ini sering terjadi banyak penganut agama yang berbeda yang menggunakan dalil agamanya untuk mencari kebenaran atas tindakan kekerasan.
“Tapi jika setiap umat beragama bisa jujur ââsatu sama lain dalam mendukung kekerasan, maka seharusnya ada juga pemimpin agama yang menemukan cara-cara untuk menjadikan agama sebagai bagian dari solusi,” kata Tveit.
Perwakilan dari WCC, dan Imam Universitas Al-Azhar, Ahmed al-Tayyeb mengatakan Al-Azhar dan Dewan Gereja Dunia telah bekerja sejak 2015, ketika ECHOS (Commission on youth in the ecumenical movement) atau Komisi yang bergerak pada keterlibatan kaum muda dalam gerakan ekumenis, mengadakan pertemuan di Kairo, Mesir pada 8-13 Mei 2016.
Saat mempresentasikan makalah di Jenewa, Al-Tayyeb mengatakan dunia saat ini dikuasai egoisme, kebencian dan konflik. Menurut dia, hal tersebut merupakan masalah yang menyedihkan karena agama dianggap bertanggung jawab atas terorisme.
“Mungkin penulis makalah ini tidak menyadari dua fakta penting dalam hal ini yakni pertama, agama datang untuk membangun perdamaian antara orang dan mengangkat ketidakadilan yang dialami kaum tertindas, yang kedua yang tidak kalah penting adalah terorisme dianggap menyalahkan agama, terutama Islam, tidak mempromosikan tindakan tersebut dan saat ini terorisme tidak membeda-bedakan antar orang yang beragama atau ateis, atau antara Muslim dan non-Muslim pada korban terorisme, itu menegaskan bahwa umat Islam saat ini membayar mahal terorisme ini dengan darah mereka,” kata Tayyeb.
Al Tayyeb menambahkan saat ini tidak relevan lagi bila ulama mengeluarkan kecaman dan pernyataan terhadap tindak kekerasan seperti terorisme. Dia mengibaratkan hal tersebut seperti bekerja di pulau-pulau yang terpisah, yang menghasilkan target yang lemah, tanpa dampak nyata dan berpengaruh.
“Saat ini banyak pemuka agama harus bersama-sama berkoordinasi menghadapi fenomena kekerasan, selain itu bersama-sama meneliti penyebab fenomena, dan banyak pemuka agama harus bekerja bersama-sama menghasilkan solusi yang intelek, cerdas, ilmiah, sosial dan pendidikan menghadapi fenomena itu,” kata Al Tayyeb.
Sementara itu Uskup dari Coptic Orthodox Church in the United Kingdom atau Gereja Ortodoks Koptik di Inggris, Uskup Anba Angaelos menyatakan saat ini harus ada upaya kolaboratif memperbaiki apa yang telah menjadi masalah komunal.
“Saat ini ada kecenderungan sikap individu, gereja, agama dan negara menunjukkan ada perkembangan ke arah yang lebih baik,” kata Angaleos.
Angaelos mengatakan harus ada bentuk baru dari dialog yang mengubah narasi dari ketidakberdayaan dan konflik dengan salah satu harapan dan janji. Dialog baru tersebut bukan hanya menampatkan toleransi sebagai landasannya, namun sikap mau menerima adalah tujuan akhirnya.
Dia menjelaskan dalam era modern saat ini tidak terdapat dikotomi yang jelas antara Timur dan Barat, karena saat ini terdapat banyak umat Kristen yang jumlahnya minoritas yang tinggal di bagian Timur dunia atau di negara-negara Islam, sementara itu banyak Muslim yang menjadi minoritas, karena tinggal di negara Barat, Amerika Serikat dan Eropa. “Sebagai pemimpin agama, kita harus mengubah stigma bahwa Timur Tengah adalah tempat awal mula konflik,” kata Angaelos.
Dia menjelaskan saat ini tidak dapat disangkal lagi Timur Tengah adalah tempat asal mula berbagai agama dan iman.
Dia mengatakan agama tidak bisa dilihat sebagai musuh, tetapi harus dilihat sebagai sekutu baik untuk negara dan masyarakat sipil. “Kita tidak bisa terus dilihat sebagai masalah, tapi kita melihat agama harus benar-benar sebagai solusi,” kata dia.
Angaelos mengemukakan saat ini banyak pihak bertanggungjawab atas tindakan ekstremisme karena sesungguhnya semua orang di dunia adalah umat beragama.
“Pengaruh yang kuat dari kelompok sekuler yang terjadi di berbagai negara di dunia, saat ini membuat posisi pemimpin agama menjadi sulit karena seolah-olah agama merupakan sumber dan akar utama dari kekerasan di seluruh dunia. Masalah seperti ini adalah masalah yang harus kita hadapi bersama,” kata dia.
Definisi ekstremisme dieksplorasi pada pertemuan dengan mantan menteri agama Indonesia, Quraish Shihab, yang juga anggota Muslim Council of Elders.
“Ketidakmampuan menghormati keyakinan atau kepercayaan yang berbeda dari keyakinan kita sendiri merupakan salah satu ciri atau indikasi terjadinya isolasi, radikalisme dan ekstremisme,” kata Shihab.
Sementara itu sekretaris jenderal Federasi Lutheran Dunia, Martin Junge menyatakan dalam pertemuan tersebut pemimpin agama berperan di garda terdepan sebagai pihak yang menentang pesan-pesan yang melawan perdamaian yang digelorakan setiap agama.
Menurut Junge, pendidikan merupakan salah satu tindakan konkret yang diperlukan membuat perbedaan. “Kami memiliki tanggung jawab mendidik para pemimpin agama di masyarakat kita terhadap kesadaran ekstremisme dan bagaimana harus dijaga terhadap itu. Saya sangat tertarik kita memiliki keberanian mengidentifikasi dalam teks-teks suci kita sendiri-bagian dan referensi yang telah digunakan untuk membenarkan kekerasan berdasarkan keyakinan agama,” kata Junge.
Junge menambahkan dialog antaragama terlalu sering menekankan pesan perdamaian dari tradisi mereka sendiri, tanpa mengakui bahwa ada juga teks-teks lain yang bisa ditafsirkan membiarkan atau menghasut kekerasan.
“Apa yang akan kita lakukan dengan teks Kitab Suci. Apa yang akan kita katakan kepada pengkhotbah kita tentang bagaimana berhubungan dengan teks-teks Kitab Suci ini? Kita tidak bisa melawan ekstremisme agama tanpa memberikan alat untuk para pemimpin kita untuk berhubungan dan menafsirkan teks-teks ini,” kata Junge.
Akademisi dan Politikus Mesir, Mahmoud Hamdi Zakzouk menjelaskan konsep damai dalam Islam. Dia memerinci konsep tersebut dengan konsep tiga lingkaran yang saling mengikat satu sama lain.
Dari tiga lingkaran tersebut, menurut dia, mengibaraktkan ada tiga jenis perdamaian dalam Islam yang pertama adalah Islam merupakan agama yang mengarah ke perdamaian bagi umatnya masing-masing.
Dia menjelaskan perdamaian yang kedua yakni perdamaian manusia dengan Tuhan, perdamaian yang ketiga, kata dia, yakni perdamaian dengan orang lain dan dunia. “Tuhan berfirman dalam Al-Qur'an bahwa Tuhan sendiri adalah perdamaian, dan kata Islam berasal dari bahasa Arab yang berarti perdamaian,” kata Zakzouk.
Sementara itu wakil moderator Komite Sentral WCC, Metropolitan Gennadios dari Sassima mengatakan orang awam berpikir konflik antaragama di berbagai tempat akan berpengaruh ke kehidupan pemuka agama, tetapi kenyataannya tidak.
“Namun, terlepas dari tren polarisasi, Tuhan ingin manusia untuk menjadi pembawa damai bahkan situasi ini memberi kesempatan manusia berbagi kabar baik tentang perdamaian, seperti yang tertulis dalam Yesaya 52:7 ‘Betapa indah di gunung-gunung mereka yang membawa kabar baik, yang memberitakan damai, yang membawa kabar baik,” kata dia. (oikoumene.org)
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...