Pemimpin Mampu Membaca Perubahan Global
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kepemimpinan transformatif harus mampu membaca situasi dan perubahan global saat ini. Hal ini disampaikan Rhenald Kasali dan Franz Magnis Suseno dalam seminar ‘Kepemimpinan Transformatif Untuk Melayani Negeri’ di Aula Katedaral, Jakarta Sabtu (5/1).
Rhenald Kasali menyebutkan perubahan besar banyak sekali. Mulai fenomena kepemimpinan baru di Eropa dan Amerika Serikat hingga munculnya teknologi kecerdasan buatan dan otomatisasi.
“Perubahan kecil hal biasa. Tetapi bagaimana jika disertai perubahan besar? Sementara kita dibesarkan dalam pola pendidikan masa lalu. Ada hal positif dan ada hal yang barangkali perlu kita perbarui. Ada pekerjaan yang akan hilang dan ada pekerjaan baru yang akan muncul,”katanya.
Pendiri Rumah Perubahan itu memaparkan lebih jauh mengenai pesatnya perkembangan teknologi saat ini. Seperti transportasi online yang datang menjemput konsumen dan siap mengantar ke tujuan mana pun. Teknologi printer 3D yang dipakai untuk membuat mobil, daging, senjata, dan konstruksi bangunan.
“Daging buatan yang akan menggeser dunia peternakan. Juga pertanian tanpa tanah di gedung-gedung,” katanya.
Dia memandang pentingnya kepemimpinan transformatif membaca situasi itu, seperti nasib buruh dan petani ketika teknologi menggantikan tenaga mereka.
“Bagaimana dengan buruh dan petani? Tidak banyak keluarga yang menginginkan anaknya menjadi buruh dan petani. Hal ini merupakan pergeseran juga. Ini adalah tantangan. Setiap ada masalah maka dicari pemecahannya,” katanya.
Tantangan Terbesar Saat Ini
Sementara itu Franz Magnis Suseno, menyoroti pentingnya nilai kebangsaan untuk Indonesia. “Di Indonesia, kebangsaan sesuatu yang mengikat. Banyak suku, budaya, dan agama tetapi itu yang membuat kita menjadi satu sebagai orang Indonesia,” katanya.
Imam Yesuit itu menilai agama juga mengangkat seluruh kemanusiaan dan kebangsaan yang sama pentingnya. Bukan mengurangi rasa kebangsaan. “Karena itu seorang pemimpin harus sadar bahwa tantangan terbesar Indonesia saat ini adalah persatuan,” katanya.
Indonesia di mata orang asing disebut sebagai negara yang sangat tidak mungkin. Karena keberagaman dapat menjadi satu. “Karena jawabannya itu sudah dalam Sumpah Pemuda dan mereka lebih menitikberatkan rasa kebangsaan. PPKI juga tidak memaksakan kata syariah dalam Pancasila. Tetapi lebih mengutamakan persatuan dan kebangsaan,” katanya.
Romo Magnis, sapaan akrabnya, juga menyoroti radikalisme dan intoleransi. Menurutnya, dua hal ini terjadi setelah zaman Soeharto.
Dia menilai situasi ini pernah terjadi di Pakistan ketika Jenderal Zia ul Haq melakukan kudeta kepada Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto pada 1977.
“Ali Bhutto dihukum mati lalu Zia ul Haq berkuasa dan menjadi diktator. Tetapi setelah satu tahun, pemerintahannya mulai goyah. Maka untuk menstabilisasi diri dia memainkan kartu agama di Pakistan dan sejak itu Pakistan menjadi kacau,” kata Romo Magnis.
“Karena itu penting bagi kita untuk menyukseskan demokrasi di Indonesia,” dia menegaskan.
Editor : Melki Pangaribuan
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...